Minggu, 03 Juni 2012

WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN

Nama / NPM   :Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
Kelas             :   2EB05

  
WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN SEBELUM DAN
SESUDAH BERLAKUNYA UU NO. 40 TAHUN 2007
TENTANG PERSEROAN TERBATAS
Wahyuni Safitri, S.H., M.Hum
Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda


ABSTRAK
           Wajib Daftar Perusahan sebagaimana yang terdapat didalam Undang-Undang No.3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan sangat bermanfaat baik dari segi Pemerintah, Dunia Usaha maupun pihak lain yang berkepentingan adapun tujuan dilakukannya daftar perseroan adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dan resmi untuk semua pihak yang berkepentingan dalam rangka menjamin kepastian berusaha. Dengan demikian daftar perusahaan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna bagi perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Indonesia


PENDAHULUAN
          Dengan melihat dasar pertimbangan dan Undang-undang Wajib Daftar Perusahaan(UUWDP), daftar perusahaan merupakan daftar catatan resmi yang dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan. Ada 3 (tiga) pihak yang memperoleh manfaat dari daftar perusahaan tersebut yaitu:

a. Pemerintah
Dalam rangka memberikan bimbingan, pembinaan dan pengawasan termasuk untuk kepentingan pengamanan pendapatan Negara yang memerlukan informasi yg akurat.

b. Dunia usaha
Mempergunakan daftar perusahaan sebagai sumber informasi untuk kepentingan usahanya. Selain itu juga dalam upaya mencegah praktek usaha yg tidak jujur.

c. Pihak lain yang berkepentingan atau masyarakat yang memerlukan informasi yang benar. (I.G. Rai Widjaja, 2006 : 270)

          Tujuan daftar perusahaan seperti terdapat pada pasal 2 UUWDP adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha.
           Dalam pasal 29 UU PT No 40 tahun 2007 dinyatakan bahwa pendaftaran perusahaan diselenggarakan oleh Menteri dalam hal ini Menkumham, sedangkan dalam ketentuan UUWDP pendaftaran perusahaan diselenggarakan oleh Departemen Perdagangan.


PEMBAHASAN
           A. DASAR HUKUM WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN
           Pertama kali diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 23 : Para persero firma diwajibkan mendaftarkan akta itu dalam register yang disediakan untuk itu pada kepaniteraan raad van justitie (pengadilan Negeri) daerah hukum tempat kedudukan perseroan itu. Selanjutnya pasal 38 KUHD : Para persero diwajibkan untuk mendaftarkan akta itu dalam keseluruhannya beserta ijin yang diperolehnya dalam register yang diadakan untuk itu pada panitera raad van justitie dari daerah hukum kedudukan perseroan itu, dan mengumumkannya dalam surat kabar resmi.
           Pada tahun 1995 ketentuan tentang PT dalam KUHD diganti dengan UU No.1 Tahun 1995, dengan adanya undang-undang tersebut maka hal-hal yang berkenaan dengan PT seperti yang diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal 56 KUHD beserta perubahannya dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UUWDP pada tahun 1998 diterbitkan Keputusan Menperindag No.12/MPP/Kep/1998 yang kemudian diubah dengan Keputusan Menperindag No.327/MPP/Kep/7/1999 tentang penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan serta Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan.

           B. WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN SETELAH ADANYA UU No. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
           Setelah resmi berlakunya Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas pada tanggal 16 Agustus 2007 yang merupakan pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1995 dalam Pasal 157 ayat 2 disebutkan bahwa Anggaran dasar dan perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau anggaran dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan UUPT yang baru.
           Menurut UUPT baru pihak yang berwenang adalah Departemen Hukum dan HAM melalui direktorat Jemdral Administrasi Hukum Umum sedangkan dalam UUPT lama yang mengacu pada UUWDP pihak yang berwenang dalam hal ini Departemen Perdagangan melalui Direktorat pendaftaran perusahaan pada direktorat jendral perdagangan dalam negeri yang bertindak selaku Kantor Pendaftaran Perusahaan(KPP) di tingkat pusat dan kantor wilayah departemen perdagangan di tingkat I dan tingkat II.
            Pengertian penafsiran hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah:
Metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. (Sudikno Mertokusumo, 1993 : 21).
            Adapun pengertian Menteri dalam pasal I angka 16 UUPT yang baru adalah sebagai berikut:
Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
           Sedangkan kalau kita membandingkan dengan ketentuan pasal 21 ayat I UUPT lama beserta penjelasannya :
(I) Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam Daftar perusahaan
a. Akta pendirian beserta surat pengesahan Menteri Kehakiman.
b. Akta perubahan anggaran dasar beserta surat persetujuan Menteri Kehakiman.
c. Akta perubahan anggaran dasar beserta laporan kepada Menteri Kehakiman.

Penjelasan:
           Yang dimaksud dengan Daftar Perusahaan adalah daftar perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
Yang dimaksud Menteri dalam UUWDP berdasarkan pasal 1 huruf e adalah: Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang perdagangan
           Kemudian, dalam keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 12/MPP/Kep/U1998 Tahun 1998 yang diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 327/MPP/Kep/7/1999 tentang Penyelenggaraan Wajib Daftar Perusahaan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang penyelenggaraan pendaftaran perusahaan dinyatakan tempat kedudukan dan susunan kantor pendaftaran perusahaan baik yang berada di tingkat pusat, di tingkat propinsi yaitu kabupaten/kota/kotamadya.
            Selanjutnya dengan berlakunya UUPT yang baru berdasarkan ketentuan Penutup dalam Pasal 160 dinyatakan bahwa:
           Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587), dicabut dan dinyatakan tiak berlaku.
           Setelah kita menghubungkan pasal satu dengan pasal lainnya dari ketiga undang-undang yaitu UUPT lama, UUWDP dan UUPT yang baru, maka dapat disimpulkan dengan tidak berlakunya ketentuan UUPT lama tersebut, maka UUWDP yang dikaitkan dalam penjelasan Pasal 21 ayat 1 tidak berlaku lagi bagi PT sedangkan untuk bentuk usaha lainnya seperti Firma, Koperasi, Persekutuan Komanditer (CV), serta perusahaan lain yang melaksanakan kegiatan usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, UUWDP masih tetap berlaku.
           Selain itu, mengenai keberlakuan suatu undang-undang agar undang¬undang tersebut mencapai tujuannya dalam hal terdapat suatu ketentuan yang berlainan untuk suatu hal tertentu dapat juga kita gunakan dua asas hukum yang berbunyi :
1. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (lex specialist derograt lex generalis).
2. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derograt lege priori).
          Pengertian kedua asas hukum tersebut adalah terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum.Sedangkan terhadap undang-undang yang lebih dahulu berlakunya tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur hal yang sama. (Soerjono Soekanto, 1993: 7 – 8)
          Untuk menerbitkan Tanda Daftar Perusahaan setelah perusahaan disahkan pendaftarannya, karena Tanda daftar Perusahaan merupakan satu rangkaian dengan pendaftaran perusahaan maka penyelenggaraan pendaftaran khususnya bagi badan hukum yang berbentuk PT termasuk di dalamnya penerbitan tanda daftar perusahaan merupakan kewenangan Depkumham bukan lagi kewenangan Departemen Perdagangan.Dengan penerapan Government online yang melalui SABH maka penyelepaian badan hukum mulai dari permohonan pengesahan badan hukum, persetujuan perubahan serta penerbitan tanda daftar perseroan berada dalam wewenang Depkumham.


KESIMPULAN
          Dapat disimpulkan bahwa UUWDP masih tetap berlaku bagi badan, hukum lainnya selain badan hukum yang berbentuk PT seperti Firma, Persekutuan Komanditer (CV), Koperasi dan bentuk usaha perorangan, tetapi yang berkaitan dengan pendaftaran perseroan bagi PT tidak lagi merujuk UUWDP tetapi kepada UUPT No 40 tahun 2007 serta ketentuan lebih lanjut tentang daftar perseroan yang diatur oleh Menkumham yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Ham No.M.HH.03.AH.01.01 tahun 2009 tentang Daftar Perseroan.



DAFTAR PUSTAKA

I.G.Rai Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Hukum Perusahaan, cetakan keenam Bekasi, Kesaint Blanc, Maret, 2006
Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, citra Aditya Bakti, 1993.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cetakan ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Nomor. M. HH. 03. AH. 01. 01 Tahun 2009 Tentang Daftar Perseroan.


Sumber:
http://www.3sfirm.com/index.php/journal/41-karya-tulis/136-wajib-daftar-perusahaan

SUBYEK DAN OBYEK HUKUM

REVIEW JURNAL SUBYEK DAN OBYEK HUKUM
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
ABSTRAK
Penelitian bermaksud untuk mengetahui apakah hukum internasional merupakan suatu hukum yang sesungguhnya.Mengapa masyarakat internasional mau mentaati hukum internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan  dengan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian. Melalui hasil pemelitian ini dapat disimpulkna bahwa, Sifat hubungan yang koordinatif dalam masyarakat internasional, tidak adanya badan supranasional yang memiliki kewenangan membuat sekaligus memaksakan berlakunya suatu aturan hukum internasional kepada anggota masyarakat bangsa-bangsa yang melanggar hukum internasional tidak mengurangi eksistensi dan hakekat hukum internasional sebagai suatu norma hukum. Faktor paling utama yang memunculkan penerimaan dan ketaatan masyarakat internasional pada aturan hukum internasional adalah adanya kesadaran dan kebutuhan bersama akan aturan hukum yang bisa memberikan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam praktek hubungan internasional. Ketaatan yang munculnya secara internal ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada ketaatan yang dipicu hanya oleh ketakuatan akan datangnya sanksi.
Kata kunci: Ketaatan, hukum internasional, filsafat hukum406 JURNAL HUKUM
PENDAHULUAN
Tidak sebagaimana sistem hukum nasional yang memiliki lembaga-lembaga formal seperti badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala pemerintahan baik di pusat maupun daerah (eksekutif) serta pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib kepada penduduknya, sistem hukum internasional tidak memiliki semuanya itu.
Hukum internasional tidak memiliki badan legislatif pembuat aturan hukum, tidak memiliki polisi, jaksa, kepala pemerintahan sebagai eksekutif bahkan juga tidak memiliki pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib terhadap negara yang melakukan pelanggaran hukum internasional. Hukum internasional sangatlah kekurangan institusi-institusi formal, demikian menurut Martin Dixon.
1.       Dengan demikian tidaklah mengherankan karenanya bila banyak pihak yang meragukan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional dikatakan bukan sebagai hokum sesungguhnya. Menurut John Austin sebagaimana dikutip oleh Scwarzenberger, hukum internasional hanya layak untuk dikategorikan sebagai positive morality saja karena tidak memiliki badan legislatif dan sanksinya tidak bisa dipaksakan.
2.       Banyak pihak mengamini pendapat ini apalagi realitas menunjukkan banyaknya pelanggaran hukum internasional dilakukan seperti oleh Amerika Serikat, juga Israel tidak pernah ada sanksi. Apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sesungguhnya? Bagaimana hukum ini bekerja, mengapa masyarakat internasional mau mentaatinya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis secara mendalam melalui filsafat hukum. Dengan menganalisa semua itu dari perspektif filsafat hukum maka diharapkan akan diperoleh pemahaman seluasluasnya juga sedalam-dalamnya, seakar-akarnya tentang hukum internasional.
Beberapa manfaat menganalisa melalui filsafat hukum antara lain:
1.       Dapat membawa para ahli hukum melihat jauh ke depan. Lebih menyadarkan para ahli hukum dalam kebijaksanaan hukumnya, mereka akan selalu menyesuaikan kebijaksanaan itu dengan keperluan-keperluan social yang aktual, dan menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam.
2.       Membawa para ahli hukum dari cara berfikir hukum secara formal ke realitas sosial. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam menerapkan hukum perjanjian para ahli hukum juga memerlukan pengetahuan-pengetahan lain di bidnag ekonomi, kriminalogi, pidana, perikatan, sosiologi dan lain sebagainya.
3.       Dapat menyatukan atau menyarankan penggunaan konsep-konsep dasar yang sama guna mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan bagi penyelesaian beraneka ragam masalah soaial dengan hanya menggunakan satu teknik. Dengan demikian kompleksitas hukum dapat lebih dikendalikan dan lebih rasional, dimana teori dapat membantu dalam ptaktek.
4.       Dengan penalaran konsep-konsep hukum akan mempertajam teknik yang dimiliki para ahli hukum itu sendiri.
Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas maka permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah Pertama, apakah hukum internasional merupakan suatu hokum yang sesungguhnya? Kedua, mengapa masyarakat internasional mau mentaati hokum internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan institusiinstitusi formal yang bertugas menegakkan hukum?
Tujuan Penelitian
Untuk memahami dan menganalisis hakekat hukum internasional serta memahami mengapa masyarakat internasional mau mentaati hukum internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan hukum.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan  dengan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, tulisan dan pendapat para pakar hukum internasional. Pengakuan, penerimaan dan praktek masyarakat internasional memperlakukan hokum internasional dalam sistem hukum nasional maupun dalam hubungan internasional.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hakekat Hukum Internasional
Menurut Austin
Hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karena untuk dikatakan sebagai hukum menurut Austin harus memenuhi dua unsure yaitu ada badan legislatif pembentuk aturan serta bahwa aturan tersebut dapat dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsure ini dalam diri hokum internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar positif morality saja. Mencermati pendapat Austin nampak bahwa Austin melihat hukum dari kacamata yang sangat sempit.
Menurut Austin hukum identik dengan undang-undang, perintah dari penguasa (badan legislatif). Dalam analisis modern pendapat Austin ini tidak tepat lagi sebab akan menghilangkan fungsi pengadilan sebagai salah satu badan pembentuk hukum. Di samping itu Austin juga mengabaikan bila dalam masyarakat ada hukum yang hidup, yang keberadaannya tidak ditentukan oleh adanya badan yang berwenang (badan legislatif) atau penguasa seperti hukum adat atau hukum kebiasaan.
Berbeda pendapat dengan Austin, Oppenheim pakar hukum yang lain mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law).
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai hukum menurut Oppenheim. Ketiga syarat yang dimaksud adalah adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta adanya jaminan pelaksanaan dari luar (external power) atas aturan tersebut.
Syarat pertama dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum internasional dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982 , Perjanjian internaional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space Treaty 1967), Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai konvensi internasional tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang lingkungan internasional, tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit kita menemukan aspek kehidupan yang belum diatur oleh Hukum internasional.
Syarat kedua adanya masyarakat internasional juga terpenuhi  menurut Oppenheim. Masyarakat internasional tersebut adalah negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional maupun universal.
Adapun syarat ketiga adanya jaminan pelaksanaan juga terpenuhi menurut Oppenheim. Jaminan pelaksanaan dapat berupa sanksi yang datang dari negara lain, organisasi internasional ataupun pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu ada pula sanksi yang wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo, pembalasan, sampai ke perang .
Meskipun menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim mengakui bahwa hokum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum internasional lemah dalam hal penegakan hukumnya bukan validitasnya. Hukum internasional terkadang sangat primitif dan tebang pilih.
Hukum dan sanksi hanya dikenakan
Terhadap negara-negara kecil yang tidak atau kurang memiliki power juga pengaruh di lingkugan masyarakat internasional. Ketika Irak menginvasi Kuwait 1990-1991 hukum internasional sangatlah keras terhadapnya. Masyarakat internasional menyatakan bahwa tindakan tersebut unlawful bukan immoral atau unacceptable Berbagai sanksi dijatuhkan pada Irak, bahkan penjatuhan sanksi itu justru yang melanggar hukum internasional karena tidak ada kejelasan sampai kapan sanksi akan berlangsung. Lebih dari itu sanksi sangat mencampuri urusan dalam negeri Irak dan mencabut hak-hak Irak untuk mengembangkan diri. Demikian halnya dengan Iran, meskipun belum ada bukti bahwa Iran mengembangkan senjata pemusnah masal dan menurut Iran apa yang dilakukkannya hanya untuk tujuan damai dan pengembangan ilmu pengetahuan tapi berbagai macam sanksi sudah diterapkan tehadap Iran. Senada dengan Oppenheim,  para pakar  hukum  int e rnas ional  mode rn menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral.Mayoritas masyarakat internasional mengakui adanya aturan hukum yang mengikat mereka.
Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 banyak mengadopsi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, UU Nomor 39 Tahun 1999 banyak mengadopsi Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.
Masalah penegakan
Hukum yang lemah harus dipisahkan dengan masalah eksistensi HI itu sendiri. Eksistensi HI tidak tergantung pada banyak sedikitnya pelanggaran, ada tidaknya lembaga-lembaga tertentu juga ada tidaknya sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh sikap pelaku hukum dalam masyarakat internasional itu sendiri.
Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Sebagaimana dikemukakan di atas dalam Hukum Internasional tidak ada badan supranasional yang memiliki otoritas membuat dan memaksakan suatu aturan internasional, tidak ada aparat penegak hukum yang berwenang menindak langsung negara yang melanggar hukum internasional, serta hubungannya dilandasi hubungan yang koordinatif bukan sub-ordinatif. Namun demikian ternyata di dalam prakt ik masyarakat   internasional  mau menerima HI   sebagai  hukum yang sesungguhnya bukan hanya sebagai moral positif saja. Hakikat hukum internasional adalah sebagai hukum yang sesungguhnya. Jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih kecil daripada ketaatan yang ada. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan lebih lanjut apa yang menjadikan masyarakat internasional mau menerima HI sebagai hukum? Dari mana HI memperoleh dasar kekuatan mengikat?
Hukum internasional (jus gentium) dipandang sebagai bagian dari hukum alam, datangnya dari Tuhan sehingga berlaku untuk seluruh manusia. Hukum Internasional mengikat karena hukum ini merupakan bagian dari hukum alam yang diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa negara-negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang datang dari alam dan diturunkan pada manusia lewat ratio atau akalnya. Gaius, pakar di era Romawi kuno menyebutkan jus gentium sebagai law :commom to all men’. Dengan demikian hukum internasional bersifat universal. Hal senada dikemukakan oleh Sudjito bahwa dasar dari hukum ini adalah alam. Inti alam terletak pada akal. Akal tertinggi ada pada Tuhan, bersifat abadi dan universal. Ketaatan masyarakat internasional pada
Hukum menurut aliran ini tidak diciptakan melainkan ditemukan di alam. Apa yang dikemukakan aliran ini ternyata belum dirasa memuaskan karena sangat abstrak dan belum menjawab inti pertanyaan mengapa masyarakat internasional mau terikat pada HI. Meskipun demikian aliran ini banyak memberikan sumbangan pada perkembangan HI terutama pada nilai-nilai keadilan (justice).
Sebagaimanan dikemukakan aliran hukum positif, dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak negara. Meskipun lebih konkrit dibandingkan apa yang dikemukakan aliran hukum alam namun apa yang dikemukakan aliran inipun memiliki kelemahan yakni bahwa tidak semua HI memperoleh kekuatan mengikat karena kehendak negara. Banyak sekali aturan HI yang berstatus hukum kebiasaan internasional ataupun prinsip hukum umum yang sudah ada sebelum lahirnya suatu negara. Tanpa pernah memberikan pernyataan kehendaknya setuju atau tidak setuju terhadap aturan tersebut, negara-negara yang baru lahir tersebut akan terikat pada aturan internasional itu.
Pasca perang dunia pemikiran ketaatan pada HI semakin berkembang. James Brierly ahli hukum internasional menyatakan mengapa negara taat pada HI adalah untuk menjaga reputasi masing-masing di tingkat internasional serta tumbuhnya solidaritas untuk terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia.
Pasca perang dunia kedua organisasi internasional tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Keberadaan mereka sedikit banyak mempengaruhi ketaatan negara pada Hukum Internasional. Dalam pandangan Brierly ketaatan itu karena solidaritas dan legitimasi yang lahir dari organisasi internasional.
Menurut aliran sosiologis, masyarakat bangsa-bangsa selaku makhluk social selalu membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Betapapun majunya suatu negara tidak akan dapat hidup sendiri. Dalam berinteraksi tersebut masyarakat internasional membutuhkan aturan hukum untuk member kepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Pada akhirnya dari aturan tersebut masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban dan kepastian hukum dalam melaksanakan hubungan internasional. Kebutuhan ini menjadikan masyarakat internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada HI. Faktor kebutuhan lebih penting daripada faktor ada tidaknya aparat penegak hukum, ada tidaknya lembagalembaga formal serta ada tidaknya sanksi.
Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu:
Jika subyek hukum menaati suatu aturan, hanya karena takut akan sanksi. Kelemahan jenis ketaatan ini adalah diperlukannya pengawasan secara ketat dan terus-menerus
Ketaatan yang bersifat identification, yaitu:
Jika subyek hukum menaatai suatu aturan karena kekhawatiran hubungan baiknya dengan pihak lain akan rusak atau terganggu jika ia tidak menaati aturan tersebut.
Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu:
Jika subyek hukum menaati sutu aturan benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Di dalam praktek subyek hukum menaati aturan bisa hanya karena salah satu alasan saja, akan tetapi bisa terjadi ketaataan itu meliputi ketiga macam yang tersebut di atas. Jadi subyek hukum menaati aturan tidak hanya takut akan sanksi tapi juga takut hubungan baiknya dengan pihak lain akan terganggu sekaligus memang kesadaran bahwa subyek hukum membutuhkan aturan itu dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Menilai ketaatan subyek hukum terhadap suatu aturan hukum tentu tidak cukup hanya melihat dari sisi jumlah yang mentaati tetapi untuk lebih menekankan pada kualitas keefektifan perlu dilihat alas an ketaatan tersebut. Ketaatan yang bersifat  compliance kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang bersifat identification, terlebih lagi bila dibandingkan dengan yang bersifat internalization.
Ada 4 faktor yang menentukan apakah negara akan taat pada hukum internasional atau tidak. Ke-4 faktor tersebut adalah determinacy, symbolic validation, coherence dan adherence. Franck menyatakan 4 faktor tersebut akan menekan negara untuk taat pada hukum internasional. Namun demikian, Franck dengan teori legitimasinya tidak mampu memberi jawaban memuaskan mengapa negara harus memperdulikan legitimasi. Sebagai contoh dikemukakan ketika negara melanggar aturan hokum internasional dengan alasan aturan tersebut kurang legitimasinya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa negara harus menghormati aturan yang dikatakan ada legitimasinya sebaliknya mengabaikan yang lain?
Kelemahan Hukum Internasional
Sebagaimana dipaparkan di atas HI diakui oleh masyarakat internasional sebagai hukum yang sebenarnya dan dipatuhi sebagaimana layaknya suatu aturan hukum karena faktor-faktor berikut:
a) Kebutuhan dan kepentingan bersama akan jaminan kepastian hukum dan ketertiban dalam melakukan hubungan internasional
b) Biaya-biaya politik dan ekonomi yang harus dibayar jika melanggar HI, seperti hilangnya kepercayaan dari pihak asing, dihapuskannya berbagai bantuan dan fasilitas dari pihak asing, dikucilkan dari pergaulan internasional, dicabut keanggotaannya dari suatu organisasi internasional
c) Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh negara lain, organisasi internasional dan pengadilan
d) Faktor psikologis takut dikecam atau dikutuk oleh pihak lain (pschological force) jika  melanggar HI. Meskipun HI  bisa bekerja namun demikian ada beberapa faktor  yang menjadikan HI sebagai hukum yang lemah.
Beberapa faktor dimaksud adalah:
- Kurangnya institusi-institusi formal penegak hukum: a. tidaknya polisi yang senantiasa mengawasi dan menindak pelanggar HI
-  Meskipun ada jaksa dan hakim di pengadilan internasional namun mereka tidak memiliki otoritas memaksa Negara pelanggar secara langsung sebagaimana yang umumnya terjadi di pengadilan nasional
- Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi wajib
PENUTUP
Berdasarkan kajian di atas, dapat disimpulkan, Pertama, hukum internasional merupakan hukum yang sesungguhnya, hukum yang hidup dan berlaku ditengahtengah masyarakat internasional. Kedua, faktor paling utama yang memunculkan ketaatan masyarakat internasional pada aturan hukum internasional adalah adanya kesadaran dan kebutuhan bersama akan aturan hukum yang bisa memberikan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam praktek hubungan internasional. Ketaatan yang munculnya secara internal ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada ketaatan yang dipicu hanya oleh ketakutan akan datangnya sanksi. Ketiga, meskipun demikian disadari dan diakui pula bahwa faktor-faktor seperti takut akan sanksi, faktor psikologis, juga takut kehilangan berbagai keuntungan dalam hubungan internasional, rasa solidaritas dan legitimasi juga cukup berpengaruh pada ketaatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teori Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi undang-undang (legisprudence), Vol I, Pemahaman Awal,
Prenadamedia Group, 2009.
Burgstaller, Markus, Theories of Compliance with International Law: Developments in
International Law, Volume 52, Martinus Nijhoff Publishers and VSP, 2005.
Carty, Anthony, Philosophy of International Law, Edinburgh University Press, 2007.
Chayes, Abram and Antonia Handler Chayes, The New Sovereignty: Compliance with
International Regulatory Agreements, Cambridge, Harvard, University Press,
1995.
Dixon, Martin, Texbook on International Law, Blackstone Press Limited, fourth edition,
2001.
Fitzmaurice, Gerald, The Foundations of the Authority of International Law and the Problem
of Enforcement, 19 Mod. L. Rev. 1, 1956.Sefriani. Ketaatan Masyarakat… 427
Hongju Koh, Harold, “Why do Nations Obey International Law” , Yale Law Journal ,
106 Yale L.J. 2599, 1997.
Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Penerbitan Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan
kedua, 1998.
Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional Dalam Perspektif Negara Berkembang,
Penataran Singkat pengembangan bahan Ajar Hukum Internasional, Bagian
Hukum Internaisonal FH Undip, Semarang, 6-8 Juni 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bagian I, Bina Cipta,
Bandung, 1982.
M Franck, Thomas, Fairness in International Law and Institutions, Oxford, Clarendon
Press, 1995.
Parthiana, Wayan, Pengantar Hukum Internasional , Mandar Maju, Bandung, 1990.
Purwanto, Harry, “Kajian Filosofis terhadap Eksistensi Hukum Internasional”, dalam
Mimbar Hukum , Majalah FH UGM , No 44/VI/2003.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju , Bandung,
Cetakan ke-3, 2002.
Scwarzenberger, International Law and Order, Martinus Nijhoff Publishers, Haque/
Boston/London, 1994.
T. Guzman, Andrew,”A Compliance-Based Theory of International Law “, California Law
Review , 90 Cal. L.Rev.1823, 2002.
______, How International Law Works a Rational Choice Theory, Oxford University Press,
2008.
Sumber:
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/11%20Sefriani.pdf

PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

REVIEW JURNAL HUKUM DAN HUKUM EKONOMI
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
Judul: komparasi berbagai aliran hukum dan ekonomi: suatu kajian filsafat hukum
Pengarang: Erlyn Indri
Keyword : Filasafat Hukum, Hukum dan Ekonomi
ABSTRAK
Secara umum, kelahiran dan pertumbuhan hukum dan ekonomi didasarkan pada kontribusi yang diberikan oleh bagian hukum dan sisi ekonomi hukum dan ekonomi.sebagai perubahan menyapu tatanan masyarakat ilmiah bagian hukum dan ekonomi transformasi saksi signifikan dalam proses pembentukan,pemahaman,struktur dan institusi hukum memproduksi cukup banyak sekolah penelitian pengalaman di bidang filsafat hukum yang inti dari penelitian ini adalah perbandingan antara sekolah berbagai pengalaman perbandingan seperti itu akan memiliki kompetensi untuk mempersempit atau bahkan menjembatani kesenjangan antara sekolah bersaing pikiran dan meningkatkan upaya untuk menyelesaikan kompleksitas masalah hukum, dalam hukum dan ekonomi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penelitian ini ditujukan untuk menyediakan bagi para pelajar hukum semacam overview atau sinopsis yang bersifat deskriptif non-critical tentang kontur maupun unsur-unsur inti dari visi filosofi hukum beraneka aliran yang memberikan kontribusinya bagi pengembangan bidang kajian hukum dan ekonomi. Penelitian ini merupakan ulasan selayang pandang mengenai apa saja yang coba disodorkan oleh masing-masing school of thought di-maksud.
Tinjauan Pustaka
Dalam 4 dekadebelakang ini hukum dan ekonomi mulai bertunas sebagai kajian yang terpisah dan tersendiri. Cukup mengherankan interaksi yang begitu nyata antara hukum dan ekonomi membutuhkan watu yang cukup lama untuk mendapatkan pengakuan yang semestinya. Salah satu sumbangan awal dari ilmu hukum bagi pengembangan kajian hukum dan ekonomi berasal dari apa yang lazim disebut dengan Common Law. Kehadirannya merupakan buah dari reaksi terhadap pendekatan metafisikal terhadap hukum yang diusung oleh aliran filsafat hukum legal theology maupun kecenderungan sekular-positiv dari metoda elmu alam yang dikandung Natural Law. Common Law tidak terdiri dari keputusan-keputusan tertentu seperti peraturan, doktrin, atau prosedur, melainkan semacam gagsan yang tidak dapat begitu saja di sistematisasi, namun nyata adanya terjalin dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Menurut Doctrinalism, hukum semestinya dipahami apa adanya sebagai hukum itu sendiri, tanpa harus merujuk kepada prinsip-prinsip religi, metafisika, ataupun sosial-ekonomi. Hukum disini dilihat sebagai serangkaian doktrin yang termaktub di dalam kasus-kasus hukum yang dari waktu ke waktu akan terungkap dan dapat dibedakan dari sekedar ‘pendapat huku’ melalui kajian ilmiah induktif secara hati-hati dan rinci terhadap kasus-kasus tersebut.
PROSES
Penelitian ini pada dasarnya meliputi beberapa tahapan atau fase. Istilah ‘metode penelitian’ tidak digunakan disini. Penelitian ini berlangsung dalam 5 fase yakni, penetapan tradisi, pencanangan paradigma, penerapan strategi, pengumpulan data, serta interpretasi, komparasi dan presentasi.
TRADISI
Penelitian ini mengikuti tradisi penelitian kualitatif, yaitu mengutamakan penghayatan dalam memahami, mengkritisi dan menafsirkan persoalan sesuai dengan paradigma yang dianut oleh peneliti. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif mengenai filosofi hukum.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan Kajian Literatur. Data penelitian diperoleh dari interaksi antara peneliti dengan para pemikir dan pakar hukum
PEMBAHASAN
1. Chicago School Law and Economic
Hukum dan ekonomi bermula dari pemikiran Adam Smith atau Jeremy Bentham. Chicago School atau disebut juga sebagai Law and Economic School of Jurisprudential Thought adalah Richard Posner seorang profesor, cenddekiawan sekaligus hakim. Menurutnya, arti kedua dari ‘keadilan’ yang paling umum dapat dikatakan adalah efisiensi. Dalam kaitannya, suatu tindakan yang dikatakan ‘tidak adil’ dengan demikian dapat di interpretasikan sebagai suatu tindakan yang menyia-nyiakan sumber daya. Menurut Aliran Hukum dan Ekonomi Chicago tujuan sentral dari pengamilan eputusan hukum semestinya adalah memajukan efisiensi pasar.
Aliran Chicago merasuki antara lain hukum antitrust, hukum tort, hukum kontrak dan hukum lingkungan, keseluruhannya kebanyakan dalam konteks common law. Secara umum aplikasi pemikiran Aliran Chicago dapat dikelompokan menjadi:
-Hukum & Ekonomi Positif: Aliran Hukum dan Ekonomi Positif melakukan analisa efisiensi terhadap common law
-Hukum & Ekonomi Normatif: Aliran Hukum dan Ekonomi Normatif mempelajari dimana kah common law menyimpang dari doktrin efisiensi ekonomi.
2. Public Choice Theory
Public choice theory didefinisikan sebagai analisa terhadap pengambila keputusan yang tidak berkenaan dengan pasar yang telah ada sejak akhir tahun 1940-an oleh para akademis di bidang public finance. Hal ini kemudian berlanjut hingga pertengahan tahun 1950-an manakala mereka melepaskan diri dari kajian kebijakan pemerintah tentang perpajakan dan pengeluaran/belanja. Rangkaian proses ini akhirnya berkulminasi pada karya Duncan Black and Anthony Downs.
Ekonomi sejati tidak hanya berkaitan dengan pasar, sehingga pengambilan keputusan ekonomi semestinya tidak di reduksi menjadi semata-mata pengambilan keputusan terkait dengan pasar.
3. Institutional Law and Economic
Pendekatan institusional terhadap hukum dan ekonomi berakar pada berbagai bidang kajian diantaranya:
- Ekonomi dan jurisprudence (Henry C. Adams 1954)
- Hubungan antara properti dan kontrak dengan distribusi kekayaan (Richard T. Elly 1941)
- Dasar-dasar hukum dari sistem ekonomi (John R. Commons 1924, 1925)
- Peran sistem harga dan posisinya di dalam ekonomi modern (Wesley C. Mitchell 1927)
Instituisi Law and Economics menuntut pendekatan interdisciplinary antara lain psikologi, sosiologi, antropologi, behavioral science, ekonomi dan hukum. Instituisi Law and Economics menolak asumsi-asumsi preferensi tetap. Pendekatan Instituisi Law and Economics sama sekali tidak membedakan diantara perlakuan, misalnya jurisprudensial, legislatif, birokratik atau regulatori. Semuanya itu merupakan manifestasi dari interelasi antara pemerintah dan ekonomi maupun proses hukum dan proses ekonomi dengan segala institusinya.
KESIMPULAN
Perbedaan yang ada diantara berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi dapat terjembatani dan persoalan hukum pun dapat menemukan jalan keluarnya. Pemahaman yang benar terhadap visi filosofi hukum akan dapat memecahkan persoalan hukum atau persoalan ekonomi yang kian kompleks dan mendudukan pada tempatnya.
REFERENSI
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/372087380.pdf

Hukum Dagang


• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05

Judul : Pemberdayaan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah dalam Memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual
Pengarang : Idham Bustamam
 
Abstrak
Pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam penelitian ini, hanya berdasar pada fakta di lapangan, bagaimana koperasi dan UKM memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual nya, dan seberapa jauh pemerintah memberikan promosi tersebut  untuk  lembaga yang bersangkutan, sehingga informasi yang diterima oleh koperasi dan UKM untuk perusahaan adalah sama. Rendahnya minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual  menyebabkan rendahnya minat untuk mendaftarkan perusahaan mereka dan ketidak inginan untuk membayar biaya di luar bisnis. Responden sangat ingin menunggu informasi tetntang promosi  Hak Kekayaan Intelektual dari Pemerintah atau
instansi terkait.
Kata kunci : “Perlu Penyuluhan”

Pendahuluan
Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan internasional batas negara boleh dikatakan hamper tidak ada lagi, karena setiap negara telah menyepakati kesepakatan internasional di bidang perdagangan seperti WTO, APTA, APEC dan lain sebagainya harus
tunduk kepada kesepakatan tersebut. Dengan demikian setiap negara tidak dapat lagi melindungi   perekonomiannya dengan kebijakan tarif maupun fiskal melebihi kesepakatan yang telah diterapkan. Indonesia telah mengikrarkan ikut dalam organisasiperdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) denganmengesahkan keikutsertaannya dalam Undang-Undang No.7 Tahun1997.
Dalam era tersebut persaingan yang terjadi adalah persaingan antar produsen ataupun perusahaan dan bukan lagi antar negara. Siapa yang dapat bekerja lebih professional dan efisien itulah yang keluar sebagai pemenang dan dapat eksis di pasar. Koperasi, usaha kecil dan menengah yang telah terdaftar dan mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual antara lain : CV. Hadle (garmen) di Cempaka Putih dengan merek “Supramanik”, Atikah (garmen) di Jawa dengan merek “Dewi Bordir”, PT. Lembaga Kencana (susu sapi) di Bandung dengan merek “Lambang Kencana”, dan Endjang Dudrajat (peti antik) di Jawa Barat dengan merek “Pramanik”.  Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil lebih memberikan leluasa gerak dari usaha kecil. Pada pasal 12/1995 Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf f dengan menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan untuk:
1). Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan
mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap;
2). Memberikan kemudahan persyaratan untuk memperoleh perizinan.
Di bidang Perkoperasian Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 61 menyebutkan antara lain: “Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim kondusif yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah :
1). Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
2). Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadiKoperasi yang sehat, tangguh dan mandiri;
3). Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
4). Memberdayakan Koperasi dalam masyarakat.
Berbagai kebijakan tersebut diatas mengindikasikan pemerintah sangat peduli akan tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan Usaha Kecil dengan melindungi dan memberikan iklim, baik untuk Koperasi dan Usaha Kecil. Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan tentang merek pertama kali dikenal dengan di undangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan Perniagaan”. Undang-Undang ini dikenal dengan sebutan undangundang merek dan merupakan perubahan tentang ketentuan yang mengatur tentang merek sejak zaman kolonial dahulu yang disebut “Reglement Industrial Eigendom Kolonial”. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 menganut sistem “Deklaratif” dengan pengertian bahwa perlindungan hukum terhadap hak atas merek yang diberikan kepada pemakai merek pertama. Di dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut dirasakan masih kurang tepat karena belum menggambarkan/mengikat kepastian hukum, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang baru No. 19 Tahun 1992 tentang merek. Ada perbedaan yang sangat menyolok pada Undang-Undang No.19 Tahun 1992 menganut sistem “Konstitutif” yang lebih menjamin kepastian hukum karena perlindungan hukum hak atas merek diberikan kepada pendaftar pertama. Tahun 1997 oleh Pemerintah dikeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 sebagai penyesuaian Undang-Undang No. 19 tahun 1992, 3 yang mengatur tentang merek dagang dan jasa, kemudian diatur lagi Undang-Undang merek yang khusus pada UU Merek No. 15 Tahun 2001.
2. Rumusan Masalah
Kalau dilihat dari judul penelitian, maka dapatlah diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1). Sejauhmana sebenarnya minat dari Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
2). Sejauhmana pemberian penyuluhan-penyuluhan HaKI oleh lembagalembaga pemerintah yang terkait.
3). Sejauhmana hambatan-hambatan yang dihadapi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah selaku pemanfaat HaKI.

3. Tujuan dan Manfaat
1).Tujuan dari penelitian ini dapat disampaikan antara lain :
- Seberapa minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
- Faktor-faktor penyebab kurang minatnya untuk memanfaatkan Hak kekayaan Intelektual (HaKI) bagi koperasi, Usaha Kecil danMenengah.
2). Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga, dinas terkait, serta KUKM sebagai bahan penyusunan rencana kebijakan yang akan datang.
4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi :
1). Gambaran produk-produk yang dihasilkan KUKM
2). Langkah-langkah operasional yang telah dilakukan instansi, dinas yang menangani HaKI
3). Faktor-faktor penghambat dalam mendapatkan HaKI oleh Koperasi,Usaha Kecil dan Menengah.


II. GAMBARAN UMUM
1. Merk
Dalam UU No. 15 Tahun 2001 “Merek” adalah tanda yang berupa gambar,nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Merek merupakan karya intelektual yang menyentuh kebutuhan manusia sehari-hari dalam melengkapi hidupnya misal saja untuk makanan, minuman dan keperluan sekunder seperti TV,radio, kulkas, AC dan alat rumah tangga lainnya.
Dalam Undangundang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 90 berbunyi; “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama atau keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

2. Sosialisasi Mendapatkan HaKI
Di Indonesia kelihatannya HaKI kurang diminati oleh pelaku bisnis, karena kurangnya penyuluhan, kurangnya pembinaan pemerintah bagi usaha yang telah mulai baik jalannya. Hal tersebut disebabkan kultur masyarakat yang beranggapan memperbanyak karya intelektual dengan mempromosikan karya tersebut tidak perlu otorisasi, ada yang beranggapan tanpa HaKI barang/produk juga terjual, dan biaya administrasi tinggi berarti menambah beban usaha saja. Persepsi yang kurang tepat ini perlu diluruskan dengan sosialisasi dibidang HaKI yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai sistem HaKI nasional maupun internasional termasuk dalam hal merek.
3. Sengketa Merek Bagi Pelaku Bisnis
Sengketa yang paling sering terjadi adalah pemalsuan merk dagang. Sengketa penggunaan merek tanpa hak dapat digugat dengan delik perdata maupun pidana, disamping pembatalan pendaftaran merek tersebut. Tindak pidana dalam hal merek dapat dibagi 2, yaitu Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan : Pasal 92 ayat 1 : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

III. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terpilih sampel ada 4 (empat) propinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Lampung.  Karakteristik produk dari keempat propinsi sampel antara lain, Propinsi Kalimantan Selatan terkenal dengan produksi mandau (golok), tikar lampit rotan, kipas rotan, keranjang rotan, tas dari manik. Kalimantan Tengah terkenal pula dengan hasilnya seperti anyamanyaman tikar dari rotan yang disebut tikar lampit dan kursi rotan. Kalimantan Timur cukup terkenal dengan sarung Samarinda, tas dan sarung pensil manik, bengkel bubut pembuatan kipas kapal. Propinsi Lampung kerajinan rumah tangga terkenal dengan pembuatan kopi, keripik singkong, keripik pisang dan makanan-makanan kecil lainnya.
2. Populasi Penelitian
Dari empat propinsi yang diteliti maka data-data diambil sebagai  berikut : setiap propinsi 3 kabupaten/kota berarti daerah survey 12 kabupaten/kota. setiap kabupaten/kota diambil datanya 5 koperasi dan 5 usaha kecil dan menengah. Koperasi yang disurvei berjumlah 60 koperasi, dan 60 usaha kecil dan menengah. Jumlah data terkumpul yang diperoleh 120 koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
3. Penarikan Sampel
Penelitian ini mempergunakan teknik antara lain :
a. Field Work Research
Penelitian langsung ke lapangan tempat obyeknya (observasi).
b. Library Research
Pengamatan deskriptif diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai permasalahan yang berhubungan dengan materi penelitian.


Pembahasan

1. Karakteristik Pengusaha
1). Persepsi Dan Pemanfataan HaKI
Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa 100,00% responden menyatakan pernah mendengar tentang HaKI.  Penyuluhan yang telah diperoleh yaitu, dari instansi terkait (pembina) hanya 18,75%, melalui media massa 5,00%, dan melalui pengusaha 76,25%. Pemahaman tentang HaKI, dari responden yang mengatakan mamahami 30,00%, dan yang tidak paham HaKI 70,00%. Guna kemajuan usaha telah pula diperoleh informasi yang jelas, bahwa responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan 75,00%, dan yang mengatakan terhambat jalannya 25,00% (tabel 1).
Dari data-data yang telah diperoleh bahwa penyuluhanpenyuluhan tentang arti dan pentingnya HaKI perlu ditingkatkan secara kontinu dari pemerintah.
2). Minat Mendapatkan HaKI
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang mengatakan berminat mendapatkan HaKI sebesar 2,25%, kurang minat 52,50%, dan tidak berminat akan HaKI sebesar 45,25%. Kalau mendapatkan HaKI dalam bentuk paten sebesar 52,50%, dan bentuk merek 47,50% (tabel 2).
Para pengusaha mengatakan bahwa belum sepenuhnya tahu mengurus administrasi HaKI. Disamping itu modal usaha yang dimiliki masih relatif kecil dengan teknologi sederhana.
3). Pemilikan HaKI Dan Produk Usaha
Hasil survei mengatakan bahwa apabila memperoleh HaKI dipergunakan untuk usaha sendiri sebesar 100,00%. Sedangkan produk yang akan didaftarkan adalah hasil temuan sendiri 82,50%.
Produk mendapatkan HaKI adalah produk yang tidak memiliki saingan 77,50%, (tabel 3). Pengusaha sebagai responden, usaha yang dikelola umumnya usaha turun temurun dan telah ditekuni berpuluh-puluh tahun.
4). Penyuluhan dan Biaya Mendapatkan Informasi
Hasil survei menggambarkan bahwa tidak ada biaya bila mencari sendiri sebesar 40%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kaltim 30,00%, Kalsel 35,00%, Kalteng 45,00%, dan Lampung 50,00%. Apabila mencari dan mendengar dari orang lain maka responden merasa kurang yakin kebenarannya, rata-rata jawaban responden 35,00%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kalsel 25,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 45,00%, dan Lampung 40,00%. Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait yang berwenang memberikan penyuluhan lebih menguntungkan
menurut responden, rata-rata 33,75%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 45,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 20,00%, dan Lampung 40,00%.  Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait, selain jelas penyuluhan diperoleh, dan juga kemudahan pemanfaatannya, rata-rata responden memberikan pendapatnya sebesar 55,00%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel 75,00%, Kalteng 35,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 60,00%,(tabel 4).
5). Biaya Pengurusan HaKI
Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengurus HaKI cukup besar, dan beragam untuk tiap daerah. Dari daftar pertanyaan yang disampaikan, seluruhnya menjawab, ya
(100,00%). Untuk administrasi dijawab rata-rata 57,25%, untuk pendaftaran rata-rata 30,50%, biaya lain-lain di jawab 52,50% (tabel 5). Kalau dirinci propinsi sampel bahwa memang ada biaya dikeluarkan, dapat disampaikan jawaban sebagai berikut: Biaya administrasi daerah responden Kalsel 50,00%, Kalteng 72,00%, Kaltim 32,00% dan Lampung 75,00%. Biaya pendaftaran Kalsel 50,00%, Kalteng 23,00%, Kaltim 24,00%, dan Lampung 25,00%.
Biaya lain-lain Kalsel 75,00%, Kalteng 55,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 30,00%.
Dari hasil pengamatan lapangan, indikasi tentang keengganan pengusaha untukmengeluarkan biaya pengurusan HaKI. Apabila modal kerja dikeluarkan bukan untuk membiayai usaha perusahaan, dikhawatirkan kegiatan usaha akan terganggu.
6). Keuntungan Memiliki HaKI
Dari jawaban responden diketahui bahwa 42,00% menyatakan bahwa pemilikan HaKI memberikan keuntungan. Kalau dijabarkan secara rinci per propinsi adalah sebagai berikut:
Memberikan keuntungan, Kalsel 60,00%, Kalteng 40,00%, Kaltim 40,00% dan Lampung 30,00%. Tidak memberikan keuntungan, Kalsel 40,00%, Kalteng 60,00%, Kaltim 60,00%, dan Lampung 70,00%.11 Keuntungan produksi mendapatkan jaminan rata-rata 48,25%, nilai komersilnya naik menjawab 29,25%, mendapatkan kepuasan moral 3,75%, dan dapat dijual belikan menjawab 18,75%(tabel 6).
2. Faktor Mempengaruhi Mendapatkan HaKI
1). Permohonan Dan Biaya HaKI
Persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan HaKI telah ditetapkan oleh Departemen Hukum Dan HAM Cq. Direktorat Jenderal HaKI. Baik untuk permohonan Paten maupun
Merek. Permohonan administrasi sebagai berikut:
- Pemohon langsung mengajukan permohonan kepada Dirjen HaKI di Jakarta.
- Mengoreksi salah atau benar permohonan oleh Ditjen HaKI melalui Tim.
- Permohonan ditolak Ditjen HaKI, untuk perbaikan cukup memakan waktu.
- Pembayaran biaya permohonan, rekening nomor 311928974 BRI Cabang Tangerang atas nama Direktorat Jenderal HaKI.
- Kantor Wilayah (Daerah) atau pejabat yang ditunjuk, membubuhkan tanda tangan dan stempel pada permohonan diterima.
(1). Biaya Paten antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan paten 12
- Biaya pemeriksaan substansi paten
- Penulisan deskripsi, abstrak, gambar
- Biaya lain-lain
(2). Biaya Merek antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan merek
- Biaya perpanjangan merek
- Biaya pencatatan pengalihan hak merek
- Biaya lain-lain
2). Usaha Koperasi dan Usaha Kecil
Responden yang diwawancarai kebanyakan usaha bergerak dalam lingkungan industri kerajinan rakyat (industri alat rumah tangga). Kegiatan usaha mempekerjakan keluarga, tetangga dan penduduk sekitar tempat usaha. Pengembangan usaha relatiflamban, karena modal kecil, usaha turun temurun, kadangkadang produksi berdasarkan pesanan. Bagi koperasi, jenis usaha
ditekuni umumnya unit toko dan unit simpan pinjam yang kebanyakan melayani anggotanya. Ada jenis usaha lain yang didirikan koperasi, tapi belum banyak berkembang, oleh karena itu
untuk membiayai usaha tersebut diambilkan dananya dari usaha yang telah maju. Bagi usaha koperasi pengambilan keputusannya berbeda sekali dengan keputusan diambil usaha kecil termasuk usaha menengah. Keputusan yang diambil koperasi berdasarkan kehendak para anggota, disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus koperasi tidak mempunyai wewenang dalam menentukan kegiatan baru, lebih-lebih kegiatan tersebut memerlukan biaya-biaya.
Bila pengurus ingin untuk mendapatkan HaKI, maka pengurus koperasi harus mendapatkan persetujuan dari anggota dengan rencana kerja yang disahkan. Koperasi milik anggota
dengan semboyan “dari, oleh, untuk” anggota. Rencana kerja yang telah disahkan melalui rapat, sangat penting bagi organisasi koperasi untuk mengetahui hasil kerja pengurus dalam satu tahun
buku. Didalam neraca tahunan terlihat apakah suatu koperasi rugi atau untung. Karena lambatnya keputusan yang diambil harus melalui rapat anggota, bila ada peluang usaha yang harus
diputuskan waktu itu juga, tidak dapat diputuskan. Akibatnya koperasi tidak dapat mengambil peluang usaha. Beberapa orang pengurus dan manager yang ditunjuk mengelola usaha koperasi,
bukan membuat keputusan tetapi menjalankan keputusan yang telah ada berdasarkan hasil rapat anggota. Pengurus mempertanggung jawabkan hasil kerjanya selama tahun buku kepada rapat anggota, sedangkan manager mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada pengurus, karena manager diangkat pengurus dalam surat keputusan dengan masa jabatan telah ditetapkan. Pekerjaan yang ada di koperasi, baik administrasi 13 organisasi, administrasi usaha dipertanggung jawabkan pengurus pada akhir tahun buku dalam rapat anggota tahunan (RAT).
3). Kiat-Kiat Peningkatan Pemanfaatan HaKI
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) sudah seharusnya dapat meningkatkan pemanfaatan penggunana HaKI oleh koperasi, usaha kecil dan menengah. Memberikan peran yang luas pada Kanwil Hukum Dan HAM didaerah (dinas didaerah) antara lain :
(1). Pemberian penyuluhan bersama dinas terkait secara kontinu.
(2). Permohonan yang disampaikan koperasi, usaha kecil dan menengah melalui Kanwil Hukum Dan HAM di daerah (dinas daerah), segera dikirim kepada Direktorat Jenderal HaKI di Jakarta, untuk disahkan.
(3). Bagi daerah pemohon yang tinggal dipedesaaan jauh dari Jakarta (luar Jawa), administrasi pemohon dijamin tidakn mengalami kekeliruan.
(4). Biaya permohonan, biaya lain-lain, besar biayanya ditinjau
kembali.

Penutup

 KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari hasil survei lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Rata-rata responden pernah mendengar HaKI (100,00%), tetapi belum mengerti arti dan pentingnya, serta prosedur pengajuan administrasi.
2). Rata-rata responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan (75,00%). Usaha dikelola kecil-kecil dan diantaranya ada usaha yang turun-temurun
3). Rata-rata responden mengatakan kurang berminat memiliki HaKI (52,50%), dan tidak berminat (45,25%). Ini disebabkan biaya dikeluarkan akan mengganggu kelancaran usaha.
4). Hasil jajak pendapat dilapangan (survei responden) mengatakan, menunggu penyuluhan tentang HaKI dari pemerintah dan instansi terkait.
2. Saran-Saran
1). Penyuluhan HaKI didaerah-daerah terus ditingkatkan, agar koperasi, usaha kecil dan menengah mengetahui arti dan pentingnya HaKI.
2). Biaya permohonan, biaya administrasi, dan biaya lain-lain agar ditinjau kembali, termasuk syarat pembayaran. Pembayaran oleh pemohon setelah permohonan diterima, yang disyahkan Direktorat Jenderal HaKI Jakarta. 14




DAFTAR PUSTAKA


Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Direktorat Jenderal BinaLembaga Koperasi. Jakarta.

Anonimous, (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan PengusahaKecil, Direktorat Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan. Jakarta.

Anonimous, (2001). Undang-undang Republik Indonesia Tentang Paten danMerek Tahun 2001. Penerbit “Citra Umbara”. Bandung.

Hadi Sutrisno, (1993). Metodologi Research. Penerbit. “Andi Offset”,Yogyakarta.

Maulana Insan Budi, (2000). Peran Serta LSM dalam Pemberdayaan KPKM diBidang HaKI khususnya Merek Dagang. Disampaikan dalam WorkshopPemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.

Nahar Rahimi SH, (2000). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek di Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta.

Singgih Santoso, (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Paramatrik. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Sugiyono, (2003). Metode Penelitian Bisnis. Alfa Beta, Bandung.

Suharto, Tata Iryanto, (1996). Kamus Bahasa Indonesia Terbaru. Penerbit
“Indah”. Surabaya.

Umar Achmad Zen P, (2000). Sosialisasi dan Penegak Hukum di Bidang HaKI Khususnya yang Berkaitan dengan Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.