Kamis, 28 November 2013

UU tentang Kode Etik Akuntan Publik dalam menghadapi Era IFRS


PRINSIP ETlKA PROFESIIKATAN AKUNTAN INDONESIA



01.  Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela. Dengan menjadianggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri di atasdan melebihi yang disyaratkan oleh hukum clan peraturan.



02.  Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, danrekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkandengan pengorbanan keuntungan pribadi


Prinsip Pertama - Tanggung Jawab Prolesi
01.  Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harussenantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatanyang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalandengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerjasarna dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memeliharakepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara danmeningkatkan tradisi profesi.

Prinsip Kedua - Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanankepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
01.  Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung-jawab kepada publik.Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepaclaobyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnissecara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadapkepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentinganmasyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantunganini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanyamempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
02.  Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan terusmenerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukkan bahwakepercayaan masyarakat dipegang teguh. Kepentingan utama profesi akuntan adalahuntuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengantingkat prestasi tertinggi dan sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut.
03.   Dalam mememuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota mungkin menghadapitekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalammengatasi benturan ini, anggota harus bertindak dengan penuh integritar, dengansuatu keyakinan bahwa apabila anggota memenuhi kewajibannya kepada publik,maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya.
04.  Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, obyektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik. Anggota diharapkan untuk memberikan jasa berkualitas, mengenakan imbalan jasa yang pantas, sertamenawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan tingkat profesionalisme yangkonsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.
05.  Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Ataskepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerusmenunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
06.  Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhanklien individual atau pemberi kerja. Dalam melaksanakan tugasnya seorang akuntanharus mengikuti standar profesi yang dititik-beratkan pada kepentingan publik,misalnya:

·         auditor independen membantu memelihara integritas dan efisiensi dari laporankeuangan yang disajikan kepada lembaga keuangan untuk mendukung pemberian pinjaman dan kepada pemegang saham untuk memperoleh modal;
·         eksekutif keuangan bekerja di berbagai bidang akuntansi manajemen dalamorganisasi dan memberikan kontribusi terhadap efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya organisasi;
·         auditor intern memberikan keyakinan ten tang sistem pengendalian internal yang baik untuk meningkatkan keandalan informasi keuangan dari pemberi kerjakepada pihak luar.
·         ahli pajak membantu membangun kepercayaan dan efisiensi serta penerapan yangadil dari sistem pajak; dan
·         konsultan manajemen mempunyai tanggung-jawab terhadap kepentingan umumdalam membantu pembuatan keputusan manajemen yang baik.

Prinsip Ketiga – Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harusmemenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
02.  Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik danmerupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yangdiambilnya.
03.  Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterusterang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerimakesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapatmenerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
04.  Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan,standar, panduan khusus atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggotaharus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telahmelakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan apakah anggota telahmenjaga integritas dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa standar teknis dan etika.04. Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.


Prinsip Keempat – Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingandalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.01. Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikananggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturankepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.02. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkanobyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik  memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lainmenyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa auditinternal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yangingin masuk ke dalam profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harusmelindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.03. Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan denganaturan etika sehubungan dengan obyektivitas, pertimbangan yang cukup harusdiberikan terhadap faktor-faktor berikut:
a.       Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka menerimatekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan ini dapat menggangguobyektivitasnya.
b.      Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi di manatekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran (reasonableness) harusdigunakan dalam menentukan standar untuk mengindentifikasi hubungan yang mungkinatau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota.  
c.       Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnyauntuk melanggar obyektivitas harus dihindari.
d.      Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terilbat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas.
e.       Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entertainment yangdipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka.Anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional merekaternoda.

Prinsip Kelima - Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan kehati-hatian, kompetensidan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan danketerampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klienatau pemberi kerja memperoleh matifaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
01.  Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwaanggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik- baiknya sesuai dengan kemampuannya, derni kepentingan pengguna jasa dankonsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik.
02.  Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seyogyanyatidak menggambarkan dirinya mernilki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan dalam semua tanggung-jawabnya, setiapanggota harus melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akanmeyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalismetinggi seperti disyaratkan oleh Prinsip Etika. Kompetensi profesional dapat dibagimenjadi 2 (dua) fase yang terpisah:
a. Pencapaian Kompetensi Profesional. Pencapaian kompetensi profesional pada awalnyamemerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalamankerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.
b. Pemeliharaan Kompetensi Profesional.

·         Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui kornitmen untuk belajar danmelakukan peningkatan profesional secara berkesinambungan selama kehidupan profesional anggota.
·         Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terusmengikuti perkembangan profesi akuntansi, termasuk di antaranya pernyataan- pernyataan akuntansi, auditing dan peraturan lainnya, baik nasional maupuninternasional yang relevan.
·         Anggota harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikanterdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsistendengan standar nasional dan internasional.

03.  Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukankonsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiapanggota bertanggung-jawab untuk menentukan kompetensi masing-masing ataumenilai apakah pendidikan, pengalaman dan pertimbangan yang diperlukan memadaiuntuk tanggung-jawab yang harus dipenuhinya.
04.  Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima jasadan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan tanggung-jawab untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-hati, sempurna dan mematuhi standar teknis dan etika yang berlaku.
05.  Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan danmengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung- jawabnya.
Prinsip Keenam – Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati leerahasiaan informas iyang diperoleh selamamelakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasitersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukumuntuk mengungkapkannya
01.  Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentangklien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya.Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klienatau pemberi kerja berakhir.
02.  Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telahdiberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkaninformasi.
03.  Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
04.  Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi terse but untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
05.  Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia ten tang penerima jasatidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuatpengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Halini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi tanggung- jawab anggota berdasarkan standar profesional.
06.  Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungandengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat danluas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yangdiperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
07.  Berikut ini adalah contoh hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukansejauh mana informasi rahasia dapat diungkapkan.
a. Apabila pengungkapan diizinkan. Jika persetujuan untuk mengungkapkan diberikan oleh penerima jasa, kepentingan semua pihak termasuk pihak ketiga yang kepentingannyadapat terpengaruh harus dipertimbangkan.
b. Pengungkapan diharuskan oleh hukum. Beberapa contoh di mana anggota diharuskanoleh hukum untuk mengungkapkan informasi rahasia adalah:
·      untuk menghasilkan dokumen atau memberikan bukti dalam proses hukum; dan
·      untuk mengungkapkan adanya pelanggaran hukum kepada publik.
     c. Ketika ada kewajiban atau hak profesional untuk mengungkapkan:
·      untuk mematuhi standar teknis dan aturan etika; pengungkapan seperti itu tidak  bertentangan dengan prinsip etika ini;
·      untuk melindungi kepentingan profesional anggota dalam sidang pengadilan;
·      untuk menaati peneleahan mutu (atau penelaahan sejawat) IAI atau badan profesionallainnya;.dan . untuk menanggapi permintaan atau investigasi oleh IAIatau badan pengatur.

 Prinsip Ketujuh - Perilaku Profesional

Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik danmenjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi:

Prinsip Kedelapan - Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis danstandar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati,anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasaselama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
01.  Standar teknis dan standar profesional yang hams ditaati anggota adalah standar yangdikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.

Prinsip-prinsip

NC IFRS 1:-waktu Adopsi Pertama Standar Pelaporan Keuangan Internasional (efektif 2010)

Menurut perbandingan, Deloitte 2009 ada standar khusus di adopsi pertama kali Internasional Standar Pelaporan Keuangan ada dalam kerangka akuntansi Belanda.

NC IFRS 2: Pembayaran berbasis Saham (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti IFRS, "mengandung DASS pengobatan alternatif yang memungkinkan untuk mengukur pembayaran berbasis ekuitas saham dengan karyawan sebesar nilai intrinsik mereka pada tanggal pemberian opsi dan nilai ini diakui langsung sebagai beban" (hal. 6).

NC IFRS 3: Penggabungan Usaha (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada banyak perbedaan antara kerangka kerja akuntansi internasional dan Belanda. Sebagai contoh, tidak seperti kerangka internasional, "metode pembelian diperlukan untuk kombinasi diklasifikasikan sebagai akuisisi dan metode penyatuan kepemilikan diperlukan untuk kombinasi diklasifikasikan sebagai penyatuan kepemilikan" (hal. 6). Tahun 2006 laporan KPMG poin perbedaan lainnya, yang meliputi, namun tidak terbatas pada, akuntansi kewajiban untuk restrukturisasi pasca-akuisisi direncanakan, kewajiban kontingen diakuisisi, berwujud, aktiva pajak tangguhan dan kewajiban, goodwill, biaya akuisisi, pertimbangan kontingen , goodwill dan non pengendalian bunga dll

NC IFRS 4: Asuransi Kontrak (efektif 2006)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, DASB telah mengeluarkan standar akuntansi untuk kontrak asuransi, namun banyak perbedaan yang ada antara standar internasional dan Belanda.

NC IFRS 5: Tidak Lancar Aktiva yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti kerangka internasional, "tidak ada persyaratan untuk aktiva tidak lancar yang dimiliki untuk dijual (atau kelompok lepasan)" (hal. 8).

NC IFRS 6: Eksplorasi dan Evaluasi Sumber Daya Mineral (efektif 2006)

Menurut laporan KPMG 2006, ada banyak perbedaan antara IFRS 6 dan pedoman Belanda setara. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan, "tidak seperti SAK, tidak ada pedoman khusus disediakan untuk eksplorasi dan evaluasi (E & E) pengeluaran, dan standar umum berlaku" (hal. 119).

NC IFRS 7: Instrumen Keuangan: Pengungkapan (efektif 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, perbedaan ada dalam akuntansi untuk pengungkapan keuangan antara standar internasional dan Belanda.

NC IFRS 8: Segmen Operasi (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, perbedaan ada dalam pengukuran informasi segmen antara standar internasional dan Belanda.

NC IAS 1: Penyajian Laporan Keuangan (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada banyak perbedaan antara kerangka kerja akuntansi internasional dan Belanda. Sebagai contoh, tidak seperti IFRS, "format preskriptif dari neraca dan perhitungan laba rugi yang berlaku" (hal. 8).

NC IAS 2: Persediaan (efektif 2005)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan dalam pengukuran persediaan dan dalam metode penentuan biaya antara standar internasional dan Belanda.

NC IAS 7: Laporan Arus Kas (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti IFRS, hanya entitas besar dan menengah diwajibkan untuk menyajikan laporan arus kas dalam kerangka Belanda.

NC IAS 8: Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan (efektif 2005)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda di akuntansi untuk mengoreksi kesalahan. Sebagai contoh, laporan ini mencatat bahwa tidak seperti IFRS, dalam kerangka Belanda "kesalahan mendasar harus diakui secara retrospektif di set pertama laporan keuangan untuk diterbitkan setelah penemuan mereka. Kesalahan material lain diakui dalam laporan laba rugi "(hal. 9).

NC IAS 10: Peristiwa setelah Periode Pelaporan (efektif 2005)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, "neraca harus dibuat sebelum atau setelah penggunaan laba. Jika pilihan terakhir digunakan, perbedaan dengan SAK bisa muncul, karena suatu entitas diperbolehkan untuk menyajikan Dividen yang diusulkan sebagai kewajiban pada tanggal neraca "(hal. 9).

NC IAS 11: Kontrak Konstruksi (efektif 1995)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda berkenaan dengan definisi kontrak konstruksi.

EN IAS 12: Pajak Penghasilan (efektif 2001)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda berkenaan dengan definisi kontrak konstruksi.

NC IAS 16: Aktiva Tetap (revisi 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda berkenaan dengan akuntansi untuk biaya pembongkaran, restorasi dan kewajiban semacam itu; inspeksi utama dan pemeliharaan dan; dan penjualan barang-barang yang dimiliki untuk sewa.

NC IAS 17: Sewa (efektif 2010)

Menurut publikasi KPMG 2006, ada beberapa perbedaan antara GAAP Belanda dan IAS 17. Publikasi 2009 Deloitte tidak menangani masalah kepatuhan GAAP Belanda dengan IAS 17.

NC PSAK 18: Pendapatan (efektif 1995)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti kerangka internasional, GAAP Belanda tidak mengandung persyaratan khusus pada program-program loyalitas pelanggan.

NC IAS 19: Imbalan Kerja (revisi 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda yang ada berkenaan dengan akuntansi untuk rencana imbalan pasca-kerja. Sebagai contoh, seperti yang dijelaskan dalam laporan tersebut, tidak seperti IFRS, "dalam laporan laba rugi dan account, badan hukum harus mengakui kontribusi yang akan dibayarkan ke pemberi pensiun sebagai beban" (hal. 10).

NC IAS 20: Akuntansi Pemerintah dan Pengungkapan Hibah Bantuan Pemerintah (revisi 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, tidak seperti IFRS, GAAP Belanda yang tidak mengandung persyaratan khusus berkenaan dengan akuntansi untuk hibah pemerintah non-moneter dan pinjaman pemerintah di tingkat bawah-pasar.

NC IAS 21: Pengaruh Perubahan Tukar Mata Uang Asing (efektif 2005)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, hanya ada sedikit perbedaan antara IAS 21 dan GAAP Belanda berkenaan dengan akuntansi "goodwill yang timbul sebagai akibat dari akuisisi entitas asing dan penyesuaian nilai wajar pada nilai tercatat aktiva dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari akuisisi "dan" jumlah kumulatif selisih kurs yang ditangguhkan dalam komponen terpisah dari ekuitas yang berkaitan dengan kegiatan operasi luar negeri dijual "(hal. 11).

NC IAS 23: Biaya Pinjaman (revisi 2009)

Menurut laporan Deloitte 2009, ada perbedaan antara persyaratan internasional dan Belanda GAAP terutama karena tidak seperti IFRS, dimana kapitalisasi adalah wajib, dalam kerangka kapitalisasi Belanda adalah pilihan kebijakan akuntansi yang tersedia.

NC IAS 24: Pengungkapan Pihak Terkait (efektif 2005)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara kerangka kerja internasional dan Belanda berkenaan dengan pengungkapan pihak terkait.

II IAS 26: Akuntansi dan Pelaporan oleh Rencana Manfaat Pensiun (efektif 1998)

Ada informasi publik yang tersedia tidak cukup mengatasi prinsip ini

NC IAS 27: Laporan dan Laporan Keuangan Tersendiri (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara IAS 27 dan persyaratan Belanda terkait. Beberapa daerah di mana kerangka Belanda berbeda termasuk (tetapi tidak mencakup semua) persyaratan konsolidasi untuk anak perusahaan, kelompok-kelompok kecil berukuran dan kepemilikan menengah. Perbedaan juga diamati dalam persyaratan untuk laporan keuangan tersendiri.

NC IAS 28: Investasi pada Perusahaan Asosiasi (revisi 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, banyak perbedaan yang diamati antara persyaratan internasional dan Belanda. Beberapa perbedaan tersebut meliputi tapi tidak mencakup semua, perbedaan dalam definisi asosiasi, pengukuran asosiasi, pengukuran non-asosiasi dan investasi pada perusahaan asosiasi diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual dll

NC IAS 29: Pelaporan Keuangan di Hyperinflationary Ekonomi (revisi 2009)

Menurut publikasi, KPMG 2006 "seperti SAK, ketika mata uang fungsional entitas adalah hyperinflationary laporan keuangan tersebut harus disesuaikan untuk menyatakan semua item dalam unit pengukuran saat ini pada tanggal neraca" (hal. 19). Namun, perbedaan memang ada. Deloitte tidak menangani masalah kepatuhan GAAP Belanda dengan IAS 29

NC IAS 31: Partisipasi dalam Joint Ventures (revisi 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara IAS 31 dan persyaratan Belanda terkait sehubungan dengan konsolidasi untuk usaha patungan, laporan keuangan terpisah untuk usaha patungan, dan akuntansi untuk kehilangan pengendalian bersama.

NC IAS 32: Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara IAS 32 dan persyaratan Belanda terkait sehubungan dengan klasifikasi instrumen sebagai ekuitas atau kewajiban, akuntansi untuk saham preferensi, dan akuntansi untuk instrumen puttable sebesar nilai wajar.

NC IAS 33: Laba per Saham (efektif 2005)

Menurut publikasi KPMG 2006, GAAP Belanda berbeda dari IAS 33. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan, "tidak seperti SAK, tidak ada persyaratan untuk menyajikan EPS untuk diskon operasi" (hal. 97). Publikasi 2009 Deloitte tidak menangani masalah kepatuhan GAAP Belanda dengan IAS 33.

EN IAS 34: Pelaporan Keuangan Interim (efektif 1999)

Menurut publikasi KPMG 2006, GAAP Belanda dan IAS 34 sangat mirip. Publikasi 2009 Deloitte tidak menangani masalah kepatuhan GAAP Belanda dengan IAS 34.

NC IAS 36: Penurunan Nilai Aktiva (revisi 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara internasional dan persyaratan Belanda sesuai berkenaan dengan waktu tes penurunan; mengalokasikan goodwill untuk unit penghasil kas dan penyesuaian kembali dari kerugian penurunan nilai goodwill.

NC PSAK 37: Ketentuan, Kewajiban Kontinjensi dan Aset Kontinjensi (efektif 1999)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada banyak perbedaan antara PSAK 37 dan persyaratan Belanda sesuai dengan hormat dengan akuntansi biaya pemeliharaan yang besar, penyisihan reorganisasi, pengukuran atau ketentuan dan bunga.

NC IAS 38: Aktiva Tidak Berwujud (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada perbedaan antara IAS 38 dan persyaratan Belanda sesuai dengan hormat dengan akuntansi masa manfaat berwujud; iklan dan promosi kegiatan, dan pengujian penurunan nilai.

NC PSAK 39: Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran (efektif 2010)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, ada banyak perbedaan antara persyaratan Belanda internasional dan sesuai. Beberapa bidang perbedaan termasuk (tetapi tidak mencakup semua) klasifikasi aset keuangan; klasifikasi kewajiban keuangan; pengukuran aset keuangan; pengukuran aset keuangan, dan perubahan karena akuntansi nilai wajar dll

NC IAS 40: Properti Investasi (efektif 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, perbedaan antara persyaratan Belanda internasional dan sesuai dengan hormat dengan akuntansi untuk perubahan nilai wajar properti investasi dinyatakan sebesar nilai wajar.

NC IAS 41: Pertanian (efektif 2009)

Menurut perbandingan Deloitte 2009, kerangka Belanda tidak memiliki persyaratan spesifik berkaitan dengan akuntansi untuk kegiatan pertanian.  


Referensi :


Rabu, 06 November 2013

REVIEW JURNAL ETIKA PROFESI AKUNTANSI

 JURNAL AKUNTANSI DAN KEUANGAN, VOL. 11, NO. 1, MEI 2009: 13-20
 
Pengaruh Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan,
dan Etika Profesi Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas
Akuntan Publik

Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto
Trisakti School of Management
Email: arleen@stietrisakti.ac.id, siou_chiang@yahoo.com

ABSTRAK

Untuk mempertahankan kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai. Adapun kompetensi tersebut adalah profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses pemeriksaan laporan keuangan. Data diperoleh melalui kuisioner survei yang diisi oleh akuntan senior sampai partner yang bekerja di Kantor Akuntan Publik. Data dianalisis menggunakan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses  memeriksaan laporan keuangan.
Kata kunci: Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan,etika profesi dan pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik.

PENDAHULUAN
Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesi.
Seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata–mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan auditan. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.
FASB dalam Statement of Financial Accounting Concept No.2, menyatakan bahwa relevansi dan reliabilitas adalah dua kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna untuk pembuatan keputusan. Untuk dapat mencapai kualitas relevan dan reliabel maka laporan keuangan perlu diaudit oleh akuntan publik untuk memberikan jaminan kepada pemakai bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.
Profesionalisme telah menjadi isu yang kritis untuk profesi akuntan karena dapat menggambarkan kinerja akuntan tersebut. Gambaran terhadap profesionalisme dalam profesi akuntan publik seperti yang dikemukakan oleh Hastuti dkk. (2003) dicerminkan melalui lima dimensi, yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi.
Selain menjadi seorang profesional yang memiliki sikap profesionalisme, akuntan publik juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dalam profesinya untuk mendukung pekerjaannya dalam melakukan setiap pemeriksaan. Setiap akuntan publik juga diharapkan memegang teguh etika profesi yang sudah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), agar situasi penuh persaingan tidak sehat dapat dihindarkan. Selain itu, dalam perencanaan audit, akuntan publik harus mempertimbangkan masalah penetapan tingkat risiko pengendalian yang direncanakan dan pertimbangan awal tingkat materialitas untuk pencapaian tujuan audit.
Penelitian ini merupakan pengembangan penelitian yang dilakukan oleh Hastuti dkk. (2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada (1) obyek penelitian, yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ada di Jakarta. Dengan mengambil KAP di Jakarta sebagai obyek penelitian diharapkan dapat merepresentasikan KAP di Indonesia karena sebagian besar KAP big 4 dan KAP non big 4 berada di Jakarta; (2) penambahan variabel independen, yaitu pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang diambil dari penelitian Sularso dan Na’im (1999), dan etika profesi yang diambil dari penelitian Murtanto dan Marini (1999). Akuntan yang lebih berpengalaman akan bertambah pengetahuannya dalam melakukan proses audit khususnya dalam memberikan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Selain pengetahuan, akuntan juga dituntut etika dalam profesinya sehingga pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan diberikan. Sewajarnya sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membuktikan secara empiris pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

RUMUSAN MASALAH
            Bagaimana pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan secara empiris?

HIPOTESIS
H1: Profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

H2: Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

H3: Etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Model penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.



Gambar 1 Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas

METODE PENELITIAN
Obyek penelitian yang diambil adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) 2008 di wilayah Jakarta dengan akuntan publik yang bekerja di KAP dijadikan sebagai responden. Para akuntan publik tersebut harus memiliki pengalaman bekerja minimal dua tahun, memiliki jenjang pendidikan minimal S1 dan posisi minimal sebagai akuntan publik senior, untuk tujuan memperoleh responden yang memiliki pengalaman dalam menentukan tingkat materialitas.
Metoda sampling yang digunakan adalah convenience sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahan, sehingga penulis mempunyai kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan mudah. Data dikumpulkan melalui survai kuisioner yang dikirmkan kepada responden baik secara langsung atau melalui contact person. Jumlah kuisioner yang dikirimkan kepada responden sebanyak dua ratus, kuisioner yang direspon sebanyak seratus lima puluh.
Profesionalisme
Profesionalisme merupakan sikap seseorang profesionalisme terdiri dari dua puluh empat item instrument, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003), yang diukur dengan menggunakan tujuh poin skala likert untuk mengukur tingkat profesionalisme akuntan publik.
Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan
Sularso dan Na’im (1999) menyatakan akuntan yang memiliki pengetahuan dan keahlian secara profesional dapat meningkatkan pengetahuan tentang sebab dan konsekuensi kekeliruan dalam suatu siklus akuntansi. Variabel pengetahuan akuntan publik ini diukur dengan menggunakan sembilan belas item instrumen untuk mendeteksi macam–macam kekeliruan yang terjadi dalam siklus penjualan, piutang dan penerimaan kas. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan angka 1 dan 0, poin 1 diberikan jika jawaban responden sesuai dengan harapan penulis dan poin 0 diberikan jika jawaban responden tidak sesuai dengan harapan penulis.
Instrumen untuk mengukur variabel ini pernah digunakan oleh Sularso dan Na’im (1999) dan Fahmi (2002).
Etika Profesi
Etika profesi yang dimaksud pada penelitian ini adalah Kode Etik Akuntan Indonesia, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan publik dengan kliennya, antara akuntan publik dengan rekan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Etika profesi terdiri dari lima dimensi yaitu kepribadian, kecakapan profesional, tangung jawab, pelaksanaan kode etik, penafsiran dan penyempurnaan kode etik.
Terdapat delapan belas item instrumen yang digunakan untuk mengukur etika profesi dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Murtanto dan Marini (2003).
Materialitas
Materialitas adalah besarnya penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang dapat mempengaruhi pertimbangan pihak yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut (Mulyadi 2002:158). Item instrumen yang digunakan sebanyak delapan belas pernyataan dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003).
Alat analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah multiple regression analysis dengan model persamaan sebagai berikut:
Mat= β0+β1Prof+β2PAK+β3EP+β4LM+ β5Po+β6Pd+ β7G+ β8Um+ε (1)
Keterangan:
1) Mat: Materialitas; 2) Prof: Profesionalisme; 3) PAK: Pengetahuan akuntan publik
dalam mendeteksi kekeliruan; 4) EP: Etika profesi; LM: 5) Lama Kerja; 6) Po: Posisi; 7) Pd:
Pendidikan; 8) G: Gender; Um: Umur; ε= error term.

PEMBAHASAN
Dalam pengujian hipotesis, penelitian memasukan variabel karakteristik responden seperti lama bekerja di KAP, jabatan pekerjaan,tingkat pendidikan, gender dan umur yang merupakan variabel kontrol. Tujuan memasukan variabel kontrol adalah mengendalikan hasil penelitian agar tidak dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik responden.


Statistik deskriptif dapat dilihat dalam Tabel 2 dan hasil pengujian hipotesis dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas

Hasil statistik deskriptif menunjukan bahwa rata-rata responden memberikan nilai pada variabel profesionalisme sebesar 5,420, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,865, etika profesi sebesar 6,004, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 5,327. Sedangkan untuk deviasi standar profesionalisme sebesar 0,755, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,179, etika profesi sebesar 0,767, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 0,569. Nilai minimum dan nilai maksimum yang diberikan responden untuk variabel profesionalisme sebesar 3,05 sampai dengan 7, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,24 sampai dengan 1, etika profesi sebesar 3,29 sampai dengan 7, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 3,44 sampai dengan 6,81.
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik untuk menguji pemenuhan syarat regresi. Hasil uji asumsi klasik menunjukan bahwa semua asumsi terpenuhi yang dapat dilihat pada Tabel 3. Selain uji asumsi klasik, model regresi yang diajukan memenuhi kelayakan model terlihat dari nilai F8,136 sebesar 7,647 dengan p-value 0,000, artinya model regresi merupakan model yang baik guna dipakai dalam enyederhanaan dunia nyata.
Hasil pengujian hipotesis satu terlihat pada koefisien profesionalisme yang bernilai positif (0,231) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,004) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis satu terbukti. Hasil pengujian hipotesis satu menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis satu konsisten dengan hasil penelitian Hastuti dkk. (2003) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi profesionalisme akuntan publik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Hasil pengujian hipotesis dua terlihat pada koefisien pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang bernilai positif (0,613) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,01) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis dua terbukti. Hasil pengujian hipotesis dua menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Terbuktinya hipotesis dua konsisten dengan hasil penelitian Noviyani dan Bandi (2002) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Hasil pengujian hipotesis tiga terlihat pada koefisien etika profesi yang bernilai positif (0,233) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,002) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis tiga terbukti. Hasil pengujian hipotesis tiga menunjukkan bahwa etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis tiga konsisten dengan hasil penelitian Agoes (2004) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi akuntan publik metaati kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Berdasarkan Tabel 3, hasil penelitian ini tidak terpengaruh oleh karakteristik dari responden, yaitu lama kerja dan posisi dalam Kantor Akuntan Publik, tingkat pendidikan, gender dan umur. Terbuktinya hipotesis satu, dua dan tiga tidak terpengaruh oleh karakterisitik-karakteristik tersebut.

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini mendukung semua hipotesis dan konsisten dengan penelitian Hastuti dkk. (2003). Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, pengetahuannya dalam mendeteksi kekeliruan dan ketaatannya akan kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya dalam melaksanakan audit laporan keuangan.
Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi bagi Kantor Akuntan Publik dalam meningkatkan kinerja KAP secara keseluruhan dengan meningkatkan profesionalisme akuntan publik, memberikan pengetahuan yang memadai bagi akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi dalam setiap pelaksanaan proses audit atas laporan keuangan sehingga dapat dihasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas. Bagi akuntan publik, menjadi sumber tambahan informasi bagi pertimbangan tingkat materialitas dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan klien, sehingga dapat meningkatkan prestasi dan kualitas audit serta dapat menambah pengetahuan serta pengalaman akuntan publik tersebut dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi sebagai seorang akuntan publik.

KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan untuk penelitian berikutnya, yaitu penggunaan kuisioner dalam pengumpulan data mengenai pengaruh profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan mungkin akan berbeda apabila data diperoleh melalui penyampaian tatap muka langsung terhadap responden.
Kedua, penelitian ini hanya menguji pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Terakhir, pemilihan sampel dengan menggunakan teknik convinience sampling karena kemudahan dalam mendapatkan sampel sehingga kurang merepresentasikan populasi. Selain itu, pemilihan sampel yang hanya berlokasi di Jakarta mudah dijangkau kemungkinan akan memberikan kesimpulan yang tidak dapat  digeneralisasi untuk lokasi lainnya. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah (1) menyebarkan kuisioner dengan metoda wawancara atau terlibat tatap muka langsung dengan responden; (2) variabel penelitian dapat dikembangkan dengan menambah variabel lain mengenai kualitas audit, pengalaman akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan untuk menunjukkan apakah terdapat pengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan risiko audit atau bisa melakukan uji beda dengan menggunakan sampel KAP Big Four dan Non Big Four; dan (3) menambah jumlah sampel dan memperluas lokasi pengambilan sampel tidak hanya di Jakarta saja.






DAFTAR PUSTAKA


Agoes, S. (2004). Auditing, Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik. Jakarta: LPFE-UI.

Arens, A.A., RJ. Elder, M.S. Beasley. (2005). Auditing and Assurance Services, an Intergrated Approach, Prentice Hall, Pearson.

Fahmi, M. (2000). Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dalam Mendeteksi Kekeliruan. Skripsi. Jakarta: Trisakti School of Management.

Hastuti, T.D., S.L. Indriarto dan C. Susilawati. (2003). Hubungan antara Profesionalisme dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.1206–1220.
Institut Akuntan Publik Indonesia. (2008). Directory 2008 Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik. Jakarta.

Lekatompessy, J.E. (2003). Hubungan Profesionalisme dengan konsekuensinya: Komitmen Organisasional, Kepuasan Kerja, Prestasi Kerja dan Keinginan Berpindah (Studi Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol.5, No.1,April, hlm.69–84.

Mulyadi. (2002). Auditing. Jakarta: Salemba Empat.
Murtanto dan Marini. (2003). Persepsi Akuntan Pria dan Akuntan Wanita serta Mahasiswa dan Mahasiswi Akuntansi terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi Akuntan, Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.790–805.

Noviyani, P. dan Bandi. (2002). Pengaruh Pengalaman dan Penelitian terhadap Struktur Pengetahuan Auditor tentang Kekeliruan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi V, September, hlm.481–488.

Sularso, S., dan Ainun N. (1999). Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dan Penggunaan Intuisi dalam Mendeteksi Kekeliruan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol.2, No.2, Juli, hlm.154–172.