Selasa, 31 Mei 2011

Indonesia Bisaa

Masa Depan Ekonomi Indonesia

 
Bagaimanapun juga ekonomi Indonesia harus tetap jalan, meskipun masa depan ekonomi Indonesia sangat sulit diprediksi dan masih mengkhawatirkan. Melihat kondisi diatas maka mau tidak mau, rujukan yang harus segera di mulai adalah memperkuat APBN. Tidak bisa tidak, jika kita ingin keluar dari kemelut hutang LN syarat utamanya adalah kemandirian dalam anggaran belanja negara dan konsistensi kebijakan pemerintah. Saat sekarang memang sangat sulit terpenuhi, tapi minimal kebijakan kearah sana harus sudah di mulai. Untuk menyatakan putus hubungan dengan IMF dan Bank Dunia, Indonesia harus mampu menyediakan devisa negara yang cukup besar untuk menutup anggaran belanja negaranya.  Dan jelasnya sangat berat, karena kebijakan akan mengarah pada penggalian potensi keuangan dalam negeri disamping merampingkan anggaran atau penghematan besar-besaran. Peningkatan pajak dan dan obligasi pemerintah bisa jadi akan menjadi tumpuan. Hanya dengan cara inilah minimal ketergantungan kita terhadap IMF sedikit dapat berkurang. Namun demikian kebijakan mengali potensi dalam negeri ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Perangkat pajak yang belum berjalan efektif menjadi kendala tersendiri. Administrasi perpajakan yang belum tertata rapi menimbulkan kesimpangsiuran begitu rupa. Dana-dana yang masuk ke kas negera tidak jelas juntrungannya, disamping tidak ada mekanisme kontrol yang efektif. Kesadaran masyarakat membayar pajak masih rendah, meskipun demikian ini bukan kesalahan rakyat semata. Banyak departemen yang masih memiliki Debt Account atau lebih populer dengan dana non budgeter.  Menggali dana dalam negeri lewat instrument obligasi pemerintah juga satu alternatif, namun sayangnya sampai sekarang juga belum mampu berjalan efektif. Bahkan jika obligasi pemerintah tidak dikelola dengan baik akan menjadi boom waktu dimana bencana fiskal akan terjadi di masa datang. Apalagi dalam kaitannya dengan hutang LN. Jatuh tempo obligasi pemerintah bisa menjadi malapetaka ke dua. Pertama, meskipun re-financing dimungkinkan akan tetap memicu terjadinya lonjakan tingkat bunga pasar. Kedua, kemungkinan terjadinya ‘crowding out effect’ di sektor swasta dipasar finansial. Ketiga, dimungkinan terjadi tekanan pada APBN, sebagai akibat dari jatuh tempo pembayaran pokok hutang. Ini yang harus juga di waspadai. 
Selain itu mengerakkan roda sektor riil dalam negeri sudah harus digalakkan kembali. Untuk itu sektor riil sangat membutuhkan propaganda dan konsistensi dari pemerintah mengenai rincian kebijakan ekonomi nasional. Pelaku usaha memerlukan panduan dalam menjalankan usahanya. Tanpa kejelasan dari pemerintah, dikhawatirkan pelaku usaha mendapat kesan pemerintah mengesampingkan pelaku usaha nasional dan cenderung memperhatikan investor asing. Satu pekerjaan besar bagi pemerintahn untuk memutar sektor riil.  Akhirnya semua harus dimulai dari kesadaran betapa rentan dan berbahaya kondisi ekonomi Indonesia dimasa datang. Beban ini tidak saja ditanggung pemerintah tapi juga harus menjadi kesadaran nasional untuk tidak terjerumus kembali ke krisis ekonomi untuk kedua kalinya. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar