REVIEW JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani / 20210346
Cyntia Citra Ramadani / 28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri / 24210953
R. Syah Putra Alam / 25210485
Rissa Dwi Rizqia / 26210057
Rafael Yoab /
• Kelas : 2EB05
PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA
LINGKUNGAN BERDASARKAN
UU NO. 23 TAHUN 1997
Dr. Prasetijo Rijadi, S.H., M.Hum.
Program Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Ubhara Surabaya
ABSTRAK
Sengketa lingkungan adalah jenis kasus yang berisi konflik yang tidak hanya
melibatkan dua pihak, tetapi kasus yang disertai dengan permintaan. sana
dua prosedur yang dapat diikuti untuk mendapatkan resolusi tentang sengketa lingkungan,
yang pertama adalah melalui proses pengadilan (dengan mengajukan tuduhan lingkungan),
dan yang kedua adalah prosedur di luar pengadilan yang biasa disebut sebagai alternatif
sengketa keadilan.
PENDAHULUAN
Robert Latter telah mengkonstruksi deskripsi simbolik-metaforik: Orang Prancis menggunakan teka-teki untuk mengajarkan pada anak-anak sekolah tentang sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Sebuah kolam teratai, berisi selembar daun. Tiap hari jumlah daun itu berlipat dua, dua lembar daun pada hari kedua, empat pada hari ketiga, delapan pada hari keempat, demikian seterusnya.
Memang, krisis ekologis bukan lagi merupakan kemungkinan masa depan. Sebaliknya, sudah menjadi realita kontemporer3 yang melebihi batas-batas Toleransi dan kemampuan adaptasi. Proliferasinya pun mencapai dimensi global dan terus berdampak secara dramatis. Kontekstualitas degradasi ini seyogianya menyadarkan adanya bahaya fenomenal-monumental yang mengancam lingkungan.
Indonesia dan dunia internasional harus memahami urgenai kebutuhan memulihkan kualitas lingkungan guna mempertahankan kehidupan masa kini tanpa membahayakan prospek generasi mendatang. Membangun masa depan yang mantap dari segi lingkungan memerlukan ketajaman visi. Momentum hari depan akan menjadi hari merayakan sejumlah prestasi yang berarti atau sekedar firmamen menyesali kesempatan mencapai masyarakat global yang sehat secara ekologis, sangat ditentukan oleh rasa apresiatif terhadap lingkungan. Dalam perspektif yuridis, pencemaran-peruskan lingkungan telah dikualifikasi sebagai kausa konflik (sengketa) lingkungan. Berarti, pencemaran perusakan lingkungan menentukan tingkat eskalasi dan keberadaan sengketa lingkungan. Pasal 1 angka19 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan – UUPLH (LNRI Tahun 1997 No. 68 – TLNRI No.3699) yang berlaku mulai tanggal 19 September 1997, memformulasikan: “Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup”. Tanpa adanya pencemaran-perusakan lingkungan, tidak akan ada konflik lingkungan. Konflik lingkungan lahir dari adanya pencemaran-perusakan lingkungan.
DESKRIPSI YURIDIS SENGKETA LINGKUNGAN
Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan. Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi” perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya “tuntutan” (claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Sebagai kenyataan yang senantiasa terjadi dan menggejala, sengketa lingkungan membutuhkan penyelesaian yuridis untuk melindungi kepentingan korban pencemaran-perusakan lingkungan sekaligus menyelamatkan lingkungan melalui pendekatan hukum.
PEHYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Dalam UUPLH, pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan terdapat pada Pasal 30-39. Menurut Pasal 30 ayat (1) UUPLH lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MELALUI PENGADILAN
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan dengan mengajukan “gugatan lingkungan” berdasarkan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW tentang “ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum” (“onrechtmatigedaad”). Atas dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kalah perkara besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat adalah:
Pertama, membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW. Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan, yang dapat dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum Anglo-Amerika.
Kedua, masalah beban pembuktian yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti kerugian untuk membuktikan kebenaran gugatanya. Menyadari kelemahan tersebut, Hukum Lingkungan Keperdataan (“privaatrechtelijk miliuerecht”) mengenal asaa tanggunggugat mutlak (“strick liability”-”risico aansprakelijkheid”) yang dianut pula oleh Pasal 35 UUPLH. Tanggunggugat mutlak timbul seketika pada pada saat terjadinya perbuatan, tampa mempersoalkankesalahantergugat. Apakah asas “strict liability” diterapkan untuk semua gugatan lingkungan? Asas “strict liability” lazimnya hanya hanya diimplementasikan pada “types of situation” tertentu (kasuistik) . termasuk “types of situation” bagi berlakunya “strick liability” adalah “extra-hazardous activities” yang menurut Pasal 35 UUPLH meliputi sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang :
a) Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
b) Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B-3) dan atau,
c) Menghasilkan limbah B-3.
d) Kegiatan pengelolaan zat dan limbah radioaktif berdasarkan Pasal 28 Undang-undang nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
e) Pencemaran lingkungan laut di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia sedasar Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eklusif Indonesia.
f) Pencemaran minyak di laut (wilayah) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on Civil Liability Oil Pollution Damage – CLC (vide penyempurnaanya tahun 1992) JO. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (Fund Convention).
Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya. sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya. Hukum Lingkungan Keperdataan tidak saja mengenal sengketa lingkungan antara individu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan kepentingan yang sama melalui “gugatan kelompok” – “class action” – “actio popularis”. Di Amerika Serikat “class action” diterapkan terhadap pencemaran lingkungan tidak hanya menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga masyarakat. “Class action”, penting dalam kasus pencemaran (perusakan) lingkungan yang menyangkut kerugian terhadap “a mass of people” yang awam dalam ilmu. Seseorang atau beberapa orang anggota kelompok dapat menggugat atau digugat sebagai pihak yang mendapat kuasa atas nama semua.
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN ALTERNATIF
Respons atas ketidakpuasan (dissatisfaction) penyelesaian sengketa lingkungan melalui “proses litigasi” yang “konfrontatif” dan “zwaarwichtig” – (njelimet) adalah “extrajudicial settlement of disputes” atau populer disebut “alternativedispute resolution” (ADR), yaitu penyelesaian konflik lingkungan secara komprehensif di luar pengadilan. ADR merupakan pengertian konseptual yang mengaksentuasikan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan melalui: “negotiation”, “conciliation”, “mediation”, “fact finding”, dan “arbitration”.
Terdapat juga bentuk-bentuk kombinasi yang dalam kepustakaan dinamakan “hybrid” semisal mediasi dengan arbitrasi yang disingkat “med-arb”. Penyelesaian sengketa lingkungan alternatif ini menurut UUPLH dinamakan “penyelesaian ssengketa lingkungan hidup di luar pengadilan”. Berdasarkan Pasal 31 UUPLH, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan. Pola penyelesaian sengketa lingkungan dalam ketentuan UUPLH tersebut tampak sebagai koreksi atas kekeliruan sistem Tim Tripihak menurut Undangundang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH} yang dirasa tidak sesuai dengan ketentuan hukum lingkungan yang dikenal di negara maju seperti: Jepang, Amerika Serikat dan Kanada, yaitu ADR. Namun sayangnya, penyelesaian “model” UULH tampaknya masih melekat dalam Penjelasan Pasal 31 UUPLH. Para pihak yang berkepentingan meliputi: ko-rban, pelaku dan instansi pemerintah terkait yang populer disebut “Tim Tripihakala. UULH, justru oleh UUPLH ditambah lagi dengan melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan (OLH).
Bertumpu pada Pasal 32 UUPLH, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 31 UUPLH dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil, keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan.
Penggunaan jasa pihak ketiga netral dalam penyelesaian sengketa lingkungan sebatas yang dikehendaki para pihak dan tergantung pada kebutuhan kasus perkasus. Di negara-negara maju, ternyata mengutamakan sarana hukum mediasi sebagai upaya penyelesaian. sengketa lingkungan yang efektif. Hal ini wajar, mengingat, mediasi memiliki keunggulan-keunggulan komperatif apabila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa secara arbitrasi dan litigasi.
PENUTUP
Pengkajian ini menyiratkan betapa pentingnya perlindungan hukum pada korban pencemaran-perusakan lingkungan sebagai manifestasi prohektif hak atas lingkungan (hidup) yang baik dan sehat. Namun sayangnya, kualitas normatif pengaturan UUPLH terhadap mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan dirasakan kurang kondusif dan signifikan bagi pengembangan kesadaran lingkungan. Terlalu banyak kendala yang harus dihadapi oleh korban pencemaran-perusakan lingkungan dalam penyelesaian sengketa lingkungan: yuridis, ekonomis maupun teknologis. Kenyataan ini menyebabkan korban
pencemaran-perusakan lingkungan seringkali enggan menyelesaikan sengketa lingkungan melalui jalurhukum. Terdapatnya kelemahan dan kekeliruan perumusan dalam UUPLH
semakin menyadarkan perlunya dilakukan percepatan upaya-upaya merevisi UUPLH agar keberlakuannya efektif. Melalui pengaturan hukum yang tangguh, keberadaan UUPLH akan diapreasiasikan dan dapat dijadikan momentum memproyeksi Indonesia yang seimbang dengan sumberdaya ekologis yang menopangnya, dan bukan yang menggerogoti tiang pancang masa depan. Keadaan tersebut tidak dapat terjadi tanpa transformasi prioritas dan nilai pribadi yang “akrab dan ramah lingkungan”. Ketentuan UUPLH yang merupakan tumpuan harapan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan perlu terus dikaji agar mampu mewujudkan manusia Indonesia sebagai “pembina lingkungan”.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbel, 1991, Blacks Law Dictionary, St. Paul, Minn: West Publishing Co.
Brown, Lester R, 1992, Tantangan Masalah Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Brussaard, W. , at al., 1996, Mllieurecht, vierde druk, Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink.
Goldberg, Stephen B, et al.., 1992, Dispute Resoltition: Negotiation, Mediation, and Other Precesses, Toronto-London: Little, Brown and Company, Boston.
Lovenheim, Peter, 1989, Mediate, Don’t Litigate: How to Resolve Dispute Quikly., Privately, and Inexpensively Without Going to Court, New York: McGraw- Hill, In.
Rahmadi, Takdir, 1996, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Makalah Penataran Hukum Lingkungan, Proyek kerjasama Hukum Indonesia – Belanda, Surabaya.
Rangkuti, Siti Sundari, 1978, HetBiginsel “De Vervuiler Betaalt”, Rijksuniversiteit Te Leiden, Faculteit Der Rechtsgeleerheid.
————, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press.
————, 1999, Reformasi Bidang Hukum Lingkungan, Suara Pembaruan, 26 Maret.
Santosa, Mas Achmad, 1997, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions), Jakarta: ICEL.
————, & Sulaiman N. Sembiring, 1997, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing), Jakarta: ICEL.
————, et al., 1997, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: ICEL.
Ury, William L. et al., 1988, Getting Disputes Resolved, San Franoisco: Jossey- Bass Publisher.
Wijoyo, Suparto, 1997, Penegakan Hnkum Lingkungan., Makalah Pelatihan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Bagi Radio Siaran dan Televisi, Batu.
————, 1997, Kesiapan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menjelang Tahun 2003, Makalah Kuliah Umum Mahasiswa Baru, IKIP Malang.
————, 1997, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), Pelatihan Teknik Membuat Paket Siaran dan Lomba Paket Siaran Pengendalian Pencemaran Lingkungan Bagi Radio Siaran.
————, 1997, Karaktenstik Hukum Acara Peraidilan Admininistrasi, Cetakan Pertama, Arlangga University Press, Surabaya.
————, 1997, Aspek Keperda taan Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah, Sarasehan Sosialisasi UUPLH, PPLH-Lemlit Unair, PCI Project, Bapedalda.
Prosedur Penyelesaian Sengketa Lingkungan … — Prasetijo Rijadi 157
————, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Environmental Disputes}, Surabaya: Airlangga University Press –Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.
————, 1999, “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Menurut UUPLH”, Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Tahun V No. 1 Agustus.
————, 2000, “Penyelesaian Yuridis Kasus Lingkungan”, Harian Umum Duta, Edisi 4 dan 5 Februari.
Yazid, T.M. Luthfi, 1996, “Penyelesaian Sengketa Melalui ADR”, Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Tahun III No. 1.
Zen, M.T. (Ed.), 1995, Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar