REVIEW JURNAL SUBYEK DAN OBYEK HUKUM
• Nama/NPM : Agustina Sapriyani /20210346
Cyntia Citra Ramadani /28210869
Ni Wayan Kristi Gayatri /24210953
Rafael Yoab / 25210534
R. Syah Putra Alam /25210485
Rissa Dwi Rizqia /26210057
• Kelas : 2EB05
ABSTRAK
Penelitian bermaksud untuk mengetahui apakah hukum internasional
merupakan suatu hukum yang sesungguhnya.Mengapa masyarakat internasional
mau mentaati hukum internasional meskipun hukum internasional sangat
kekurangan akan institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan
hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis data
yang digunakan adalah data sekunder dengan dengan bahan hukum sekunder
berupa hasil penelitian. Melalui hasil pemelitian ini dapat disimpulkna
bahwa, Sifat hubungan yang koordinatif dalam masyarakat internasional,
tidak adanya badan supranasional yang memiliki kewenangan membuat
sekaligus memaksakan berlakunya suatu aturan hukum internasional kepada
anggota masyarakat bangsa-bangsa yang melanggar hukum internasional
tidak mengurangi eksistensi dan hakekat hukum internasional sebagai
suatu norma hukum. Faktor paling utama yang memunculkan penerimaan dan
ketaatan masyarakat internasional pada aturan hukum internasional adalah
adanya kesadaran dan kebutuhan bersama akan aturan hukum yang bisa
memberikan ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam praktek hubungan
internasional. Ketaatan yang munculnya secara internal ini hasilnya akan
jauh lebih baik daripada ketaatan yang dipicu hanya oleh ketakuatan
akan datangnya sanksi.
Kata kunci: Ketaatan, hukum internasional, filsafat hukum406 JURNAL HUKUM
PENDAHULUAN
Tidak sebagaimana sistem hukum nasional yang memiliki lembaga-lembaga
formal seperti badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala
pemerintahan baik di pusat maupun daerah (eksekutif) serta pengadilan
yang memiliki yurisdiksi wajib kepada penduduknya, sistem hukum
internasional tidak memiliki semuanya itu.
Hukum internasional tidak memiliki badan legislatif pembuat aturan
hukum, tidak memiliki polisi, jaksa, kepala pemerintahan sebagai
eksekutif bahkan juga tidak memiliki pengadilan yang memiliki yurisdiksi
wajib terhadap negara yang melakukan pelanggaran hukum internasional.
Hukum internasional sangatlah kekurangan institusi-institusi formal,
demikian menurut Martin Dixon.
1. Dengan demikian tidaklah mengherankan karenanya bila banyak
pihak yang meragukan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional
dikatakan bukan sebagai hokum sesungguhnya. Menurut John Austin
sebagaimana dikutip oleh Scwarzenberger, hukum internasional hanya layak
untuk dikategorikan sebagai positive morality saja karena tidak
memiliki badan legislatif dan sanksinya tidak bisa dipaksakan.
2. Banyak pihak mengamini pendapat ini apalagi realitas
menunjukkan banyaknya pelanggaran hukum internasional dilakukan seperti
oleh Amerika Serikat, juga Israel tidak pernah ada sanksi. Apakah hukum
internasional itu merupakan hukum yang sesungguhnya? Bagaimana hukum ini
bekerja, mengapa masyarakat internasional mau mentaatinya merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis
secara mendalam melalui filsafat hukum. Dengan menganalisa semua itu
dari perspektif filsafat hukum maka diharapkan akan diperoleh pemahaman
seluasluasnya juga sedalam-dalamnya, seakar-akarnya tentang hukum
internasional.
Beberapa manfaat menganalisa melalui filsafat hukum antara lain:
1. Dapat membawa para ahli hukum melihat jauh ke depan. Lebih
menyadarkan para ahli hukum dalam kebijaksanaan hukumnya, mereka akan
selalu menyesuaikan kebijaksanaan itu dengan keperluan-keperluan social
yang aktual, dan menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap
hal-hal yang silam.
2. Membawa para ahli hukum dari cara berfikir hukum secara
formal ke realitas sosial. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam
menerapkan hukum perjanjian para ahli hukum juga memerlukan
pengetahuan-pengetahan lain di bidnag ekonomi, kriminalogi, pidana,
perikatan, sosiologi dan lain sebagainya.
3. Dapat menyatukan atau menyarankan penggunaan konsep-konsep
dasar yang sama guna mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan
bagi penyelesaian beraneka ragam masalah soaial dengan hanya menggunakan
satu teknik. Dengan demikian kompleksitas hukum dapat lebih
dikendalikan dan lebih rasional, dimana teori dapat membantu dalam
ptaktek.
4. Dengan penalaran konsep-konsep hukum akan mempertajam teknik yang dimiliki para ahli hukum itu sendiri.
Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas maka permasalahan yang akan dianalisis
dalam tulisan ini adalah Pertama, apakah hukum internasional merupakan
suatu hokum yang sesungguhnya? Kedua, mengapa masyarakat internasional
mau mentaati hokum internasional meskipun hukum internasional sangat
kekurangan akan institusiinstitusi formal yang bertugas menegakkan
hukum?
Tujuan Penelitian
Untuk memahami dan menganalisis hakekat hukum internasional serta
memahami mengapa masyarakat internasional mau mentaati hukum
internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan
institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan hukum.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis data yang
digunakan adalah data sekunder dengan dengan bahan hukum sekunder
berupa hasil penelitian, tulisan dan pendapat para pakar hukum
internasional. Pengakuan, penerimaan dan praktek masyarakat
internasional memperlakukan hokum internasional dalam sistem hukum
nasional maupun dalam hubungan internasional.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hakekat Hukum Internasional
Menurut Austin
Hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karena untuk dikatakan sebagai hukum menurut Austin harus memenuhi dua unsure yaitu ada badan legislatif pembentuk aturan serta bahwa aturan tersebut dapat dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsure ini dalam diri hokum internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar positif morality saja. Mencermati pendapat Austin nampak bahwa Austin melihat hukum dari kacamata yang sangat sempit.
Menurut Austin hukum identik dengan undang-undang, perintah dari
penguasa (badan legislatif). Dalam analisis modern pendapat Austin ini
tidak tepat lagi sebab akan menghilangkan fungsi pengadilan sebagai
salah satu badan pembentuk hukum. Di samping itu Austin juga mengabaikan
bila dalam masyarakat ada hukum yang hidup, yang keberadaannya tidak
ditentukan oleh adanya badan yang berwenang (badan legislatif) atau
penguasa seperti hukum adat atau hukum kebiasaan.
Berbeda pendapat dengan Austin, Oppenheim pakar hukum yang lain mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law).
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk dikatakan
sebagai hukum menurut Oppenheim. Ketiga syarat yang dimaksud adalah
adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta adanya jaminan pelaksanaan
dari luar (external power) atas aturan tersebut.
Syarat pertama dapat dengan mudah ditemukan yaitu
dengan banyaknya aturan hukum internasional dalam kehidupan kita
sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982 , Perjanjian
internaional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space Treaty
1967), Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai
konvensi internasional tentang HAM, tentang perdagangan internasional,
tentang lingkungan internasional, tentang perang, dan lain-lain. Dapat
dikatakan sulit kita menemukan aspek kehidupan yang belum diatur oleh
Hukum internasional.
Syarat kedua adanya masyarakat internasional juga
terpenuhi menurut Oppenheim. Masyarakat internasional tersebut adalah
negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional maupun
universal.
Adapun syarat ketiga adanya jaminan pelaksanaan juga
terpenuhi menurut Oppenheim. Jaminan pelaksanaan dapat berupa sanksi
yang datang dari negara lain, organisasi internasional ataupun
pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan
permintaan maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary),
serta pemulihan keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu
ada pula sanksi yang wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan
diplomatik, embargo, pembalasan, sampai ke perang .
Meskipun menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang
sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim mengakui bahwa hokum
internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum internasional
lemah dalam hal penegakan hukumnya bukan validitasnya. Hukum
internasional terkadang sangat primitif dan tebang pilih.
Hukum dan sanksi hanya dikenakan
Terhadap negara-negara kecil yang tidak atau kurang memiliki power
juga pengaruh di lingkugan masyarakat internasional. Ketika Irak
menginvasi Kuwait 1990-1991 hukum internasional sangatlah keras
terhadapnya. Masyarakat internasional menyatakan bahwa tindakan tersebut
unlawful bukan immoral atau unacceptable Berbagai sanksi dijatuhkan
pada Irak, bahkan penjatuhan sanksi itu justru yang melanggar hukum
internasional karena tidak ada kejelasan sampai kapan sanksi akan
berlangsung. Lebih dari itu sanksi sangat mencampuri urusan dalam negeri
Irak dan mencabut hak-hak Irak untuk mengembangkan diri. Demikian
halnya dengan Iran, meskipun belum ada bukti bahwa Iran mengembangkan
senjata pemusnah masal dan menurut Iran apa yang dilakukkannya hanya
untuk tujuan damai dan pengembangan ilmu pengetahuan tapi berbagai macam
sanksi sudah diterapkan tehadap Iran. Senada dengan Oppenheim, para
pakar hukum int e rnas ional mode rn menyatakan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar
moral.Mayoritas masyarakat internasional mengakui adanya aturan hukum
yang mengikat mereka.
Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 banyak mengadopsi Konvensi
Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, UU Nomor 39 Tahun 1999 banyak
mengadopsi Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.
Masalah penegakan
Hukum yang lemah harus dipisahkan dengan masalah eksistensi HI itu
sendiri. Eksistensi HI tidak tergantung pada banyak sedikitnya
pelanggaran, ada tidaknya lembaga-lembaga tertentu juga ada tidaknya
sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh sikap pelaku hukum dalam masyarakat
internasional itu sendiri.
Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Sebagaimana dikemukakan di atas dalam Hukum Internasional tidak ada
badan supranasional yang memiliki otoritas membuat dan memaksakan suatu
aturan internasional, tidak ada aparat penegak hukum yang berwenang
menindak langsung negara yang melanggar hukum internasional, serta
hubungannya dilandasi hubungan yang koordinatif bukan sub-ordinatif.
Namun demikian ternyata di dalam prakt ik masyarakat internasional
mau menerima HI sebagai hukum yang sesungguhnya bukan hanya sebagai
moral positif saja. Hakikat hukum internasional adalah sebagai hukum
yang sesungguhnya. Jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih kecil
daripada ketaatan yang ada. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan lebih
lanjut apa yang menjadikan masyarakat internasional mau menerima HI
sebagai hukum? Dari mana HI memperoleh dasar kekuatan mengikat?
Hukum internasional (jus gentium) dipandang sebagai bagian dari hukum
alam, datangnya dari Tuhan sehingga berlaku untuk seluruh manusia.
Hukum Internasional mengikat karena hukum ini merupakan bagian dari
hukum alam yang diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa negara-negara mau terikat pada HI karena
hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum
alam. Hukum alam adalah hukum yang datang dari alam dan diturunkan pada
manusia lewat ratio atau akalnya. Gaius, pakar di era Romawi kuno
menyebutkan jus gentium sebagai law :commom to all men’. Dengan demikian
hukum internasional bersifat universal. Hal senada dikemukakan oleh
Sudjito bahwa dasar dari hukum ini adalah alam. Inti alam terletak pada
akal. Akal tertinggi ada pada Tuhan, bersifat abadi dan universal.
Ketaatan masyarakat internasional pada
Hukum menurut aliran ini tidak diciptakan melainkan ditemukan di
alam. Apa yang dikemukakan aliran ini ternyata belum dirasa memuaskan
karena sangat abstrak dan belum menjawab inti pertanyaan mengapa
masyarakat internasional mau terikat pada HI. Meskipun demikian aliran
ini banyak memberikan sumbangan pada perkembangan HI terutama pada
nilai-nilai keadilan (justice).
Sebagaimanan dikemukakan aliran hukum positif, dasar kekuatan
mengikatnya HI adalah kehendak negara. Meskipun lebih konkrit
dibandingkan apa yang dikemukakan aliran hukum alam namun apa yang
dikemukakan aliran inipun memiliki kelemahan yakni bahwa tidak semua HI
memperoleh kekuatan mengikat karena kehendak negara. Banyak sekali
aturan HI yang berstatus hukum kebiasaan internasional ataupun prinsip
hukum umum yang sudah ada sebelum lahirnya suatu negara. Tanpa pernah
memberikan pernyataan kehendaknya setuju atau tidak setuju terhadap
aturan tersebut, negara-negara yang baru lahir tersebut akan terikat
pada aturan internasional itu.
Pasca perang dunia pemikiran ketaatan pada HI semakin berkembang.
James Brierly ahli hukum internasional menyatakan mengapa negara taat
pada HI adalah untuk menjaga reputasi masing-masing di tingkat
internasional serta tumbuhnya solidaritas untuk terciptanya ketertiban
dan perdamaian dunia.
Pasca perang dunia kedua organisasi internasional tumbuh bagaikan
cendawan di musim hujan. Keberadaan mereka sedikit banyak mempengaruhi
ketaatan negara pada Hukum Internasional. Dalam pandangan Brierly
ketaatan itu karena solidaritas dan legitimasi yang lahir dari
organisasi internasional.
Menurut aliran sosiologis, masyarakat bangsa-bangsa selaku makhluk
social selalu membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Betapapun majunya suatu negara tidak akan dapat hidup
sendiri. Dalam berinteraksi tersebut masyarakat internasional
membutuhkan aturan hukum untuk member kepastian hukum pada apa yang
mereka lakukan. Pada akhirnya dari aturan tersebut masyarakat
internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan
kedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar kekuatan mengikatnya HI
adalah kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban dan kepastian
hukum dalam melaksanakan hubungan internasional. Kebutuhan ini
menjadikan masyarakat internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada
HI. Faktor kebutuhan lebih penting daripada faktor ada tidaknya aparat
penegak hukum, ada tidaknya lembagalembaga formal serta ada tidaknya
sanksi.
Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu:
Jika subyek hukum menaati suatu aturan, hanya karena takut akan
sanksi. Kelemahan jenis ketaatan ini adalah diperlukannya pengawasan
secara ketat dan terus-menerus
Ketaatan yang bersifat identification, yaitu:
Jika subyek hukum menaatai suatu aturan karena kekhawatiran hubungan
baiknya dengan pihak lain akan rusak atau terganggu jika ia tidak
menaati aturan tersebut.
Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu:
Jika subyek hukum menaati sutu aturan benar-benar karena ia merasa
bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Di
dalam praktek subyek hukum menaati aturan bisa hanya karena salah satu
alasan saja, akan tetapi bisa terjadi ketaataan itu meliputi ketiga
macam yang tersebut di atas. Jadi subyek hukum menaati aturan tidak
hanya takut akan sanksi tapi juga takut hubungan baiknya dengan pihak
lain akan terganggu sekaligus memang kesadaran bahwa subyek hukum
membutuhkan aturan itu dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang
dianutnya. Menilai ketaatan subyek hukum terhadap suatu aturan hukum
tentu tidak cukup hanya melihat dari sisi jumlah yang mentaati tetapi
untuk lebih menekankan pada kualitas keefektifan perlu dilihat alas an
ketaatan tersebut. Ketaatan yang bersifat compliance kualitasnya lebih
rendah dibandingkan dengan yang bersifat identification, terlebih lagi
bila dibandingkan dengan yang bersifat internalization.
Ada 4 faktor yang menentukan apakah negara akan taat pada hukum
internasional atau tidak. Ke-4 faktor tersebut adalah determinacy,
symbolic validation, coherence dan adherence. Franck menyatakan 4 faktor
tersebut akan menekan negara untuk taat pada hukum internasional. Namun
demikian, Franck dengan teori legitimasinya tidak mampu memberi jawaban
memuaskan mengapa negara harus memperdulikan legitimasi. Sebagai contoh
dikemukakan ketika negara melanggar aturan hokum internasional dengan
alasan aturan tersebut kurang legitimasinya maka pertanyaan yang dapat
diajukan adalah mengapa negara harus menghormati aturan yang dikatakan
ada legitimasinya sebaliknya mengabaikan yang lain?
Kelemahan Hukum Internasional
Sebagaimana dipaparkan di atas HI diakui oleh masyarakat
internasional sebagai hukum yang sebenarnya dan dipatuhi sebagaimana
layaknya suatu aturan hukum karena faktor-faktor berikut:
a) Kebutuhan dan kepentingan bersama akan jaminan kepastian hukum dan ketertiban dalam melakukan hubungan internasional
b) Biaya-biaya politik dan ekonomi yang harus
dibayar jika melanggar HI, seperti hilangnya kepercayaan dari pihak
asing, dihapuskannya berbagai bantuan dan fasilitas dari pihak asing,
dikucilkan dari pergaulan internasional, dicabut keanggotaannya dari
suatu organisasi internasional
c) Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh negara lain, organisasi internasional dan pengadilan
d) Faktor psikologis takut dikecam atau dikutuk oleh
pihak lain (pschological force) jika melanggar HI. Meskipun HI bisa
bekerja namun demikian ada beberapa faktor yang menjadikan HI sebagai
hukum yang lemah.
Beberapa faktor dimaksud adalah:
- Kurangnya institusi-institusi formal penegak hukum: a. tidaknya polisi yang senantiasa mengawasi dan menindak pelanggar HI
- Meskipun ada jaksa dan hakim di pengadilan internasional namun
mereka tidak memiliki otoritas memaksa Negara pelanggar secara langsung
sebagaimana yang umumnya terjadi di pengadilan nasional
- Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi wajib
PENUTUP
Berdasarkan kajian di atas, dapat disimpulkan, Pertama, hukum
internasional merupakan hukum yang sesungguhnya, hukum yang hidup dan
berlaku ditengahtengah masyarakat internasional. Kedua, faktor paling
utama yang memunculkan ketaatan masyarakat internasional pada aturan
hukum internasional adalah adanya kesadaran dan kebutuhan bersama akan
aturan hukum yang bisa memberikan ketertiban, keadilan, dan kepastian
hukum mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan
dalam praktek hubungan internasional. Ketaatan yang munculnya secara
internal ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada ketaatan yang dipicu
hanya oleh ketakutan akan datangnya sanksi. Ketiga, meskipun demikian
disadari dan diakui pula bahwa faktor-faktor seperti takut akan sanksi,
faktor psikologis, juga takut kehilangan berbagai keuntungan dalam
hubungan internasional, rasa solidaritas dan legitimasi juga cukup
berpengaruh pada ketaatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teori Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi undang-undang (legisprudence), Vol I, Pemahaman Awal,
Prenadamedia Group, 2009.
Burgstaller, Markus, Theories of Compliance with International Law: Developments in
International Law, Volume 52, Martinus Nijhoff Publishers and VSP, 2005.
Carty, Anthony, Philosophy of International Law, Edinburgh University Press, 2007.
Chayes, Abram and Antonia Handler Chayes, The New Sovereignty: Compliance with
International Regulatory Agreements, Cambridge, Harvard, University Press,
1995.
Dixon, Martin, Texbook on International Law, Blackstone Press Limited, fourth edition,
2001.
Fitzmaurice, Gerald, The Foundations of the Authority of International Law and the Problem
of Enforcement, 19 Mod. L. Rev. 1, 1956.Sefriani. Ketaatan Masyarakat… 427
Hongju Koh, Harold, “Why do Nations Obey International Law” , Yale Law Journal ,
106 Yale L.J. 2599, 1997.
Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Penerbitan Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan
kedua, 1998.
Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional Dalam Perspektif Negara Berkembang,
Penataran Singkat pengembangan bahan Ajar Hukum Internasional, Bagian
Hukum Internaisonal FH Undip, Semarang, 6-8 Juni 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bagian I, Bina Cipta,
Bandung, 1982.
M Franck, Thomas, Fairness in International Law and Institutions, Oxford, Clarendon
Press, 1995.
Parthiana, Wayan, Pengantar Hukum Internasional , Mandar Maju, Bandung, 1990.
Purwanto, Harry, “Kajian Filosofis terhadap Eksistensi Hukum Internasional”, dalam
Mimbar Hukum , Majalah FH UGM , No 44/VI/2003.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju , Bandung,
Cetakan ke-3, 2002.
Scwarzenberger, International Law and Order, Martinus Nijhoff Publishers, Haque/
Boston/London, 1994.
T. Guzman, Andrew,”A Compliance-Based Theory of International Law “, California Law
Review , 90 Cal. L.Rev.1823, 2002.
______, How International Law Works a Rational Choice Theory, Oxford University Press,
2008.
Sumber:
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/11%20Sefriani.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar